Mahasiswa Institut Teknologi Yogyakarta
“Guraci aku
totike, Jo’Ou malo fo binasa
Hira Guraci
aku totike, Jo’Ou Malo dadi badan binasa.”
(Emas boleh
kau cari, Tak ada Sultan kita binasa
Hilang emas
boleh ku cari, Tak ada Sultan badan binasa.)
Dolo bololo _Sastra Lisan Ternate.
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan serta keresahan
penulis bahkan sebagian besar masyarakat
Ternate dalam melihat fenomena yang terjadi di lingkungan kesultanan Ternate.
Harapannya agar perangkat adat dapat menindak-lanjuti permasalahan yang terjadi
saat ini di kesultanan Ternate. Semoga melalui tulisan ini segala kegelisahan
dan keresahan dapat terwakilkan, sehingga dapat bermanfaat untuk kita semua.
***
Kesultanan Ternate sejak 19 Februari 2015, di mana
seluruh khalayak se-antero Maluku Utara mendengarkan kabar meninggalnya sultan
Ternate ke 48. Inilah yang menjadi awal dari kekosongan kekuasaan di kesultanan
Ternate. Sementara waktu berjalan telah memasuki tahun kedua paska meninggalnya
Sultan Ternate, kondisi kesultanan semakin kisruh dan berefek pada masyarakat sehingga
melahirkan pertanyaan besar dimasyarakat tentang siapakah nanti yang bakal
mengantikan Sultan Ternate ke 48 untuk melanjutkan tongkat estafet kekuasaan
selanjutnya. Kekisruhan tersebut menghasilkan sebuah polemik yang terus
bergejolak di dalam lingkungan kesultanan. Sebelumnya, pada tanggal 3
september, 2016 kesultanan Ternate sempat melakukan pemilihan Sultan yang di ikuti
oleh tiga
calon.Ketiga calon itu adalah
putra almarhum Sultan Mudaffar Sjah II, yaitu
Nulzulluddin bin Mudaffar Sjah, Firman Mudaffar Sjah dan Hidayatullah Mudaffar
Sjah. Namun langkah tersebut di tolak oleh
perangkat adat lainnya sehingga proses tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada kesempatan lain Bobato 18 beserta perangkat
adat lainnya melakukan prosesi pelantikan yang kemudian mengangkat Sjarifuddin Sjah
atau Ou Ta (sapaan beliau) sebagai sultan
baru, beliau tak lain adalah kakak dari
mendiang Sultan Ternate Alm. Mudaffar Sjah II. Prosesi pelantikan tersebut
berlangsung di Kadato Ici kelurahan Soasio.
Ou Ta kemudian dikukuhkan dan diberikan gelar sebagai Kolano Masoa. Proses
pelantikan menuai protes dari anak-anak Alm. Sultan Mudaffar Sjah, mereka menganggap
proses tersebut tidak sah dikarenakan tidak sesuai prosedur atau mekanisme yang
berlaku dalam tatacara pengangkatan Sultan Ternate. Bahkan gelar Kolano Masoa
didalam lingkup kesultanan ialah sebuah istilah baru bahkan jabatan baru dalam
posisi kesultanan dan belum pernah ada dalam lembaran sejarah panjang di
Kesultanan Ternate itu sendiri. Sehingga hal tersebut seakan - akan terindikasi
semacam konspirasi dengan cara-cara yang sengaja dimainkan oleh pihak-pihak
tertentu dalam upaya merebut kekosongan kekuasaan dalam Kesultanan.
Persoalan tersebut sangat berdampak di
kalangan masyarakat adat (bala kusu se
kano-kano).Bagi masyarakat adat mereka hanya menjalan pengabdian (maco’ou), persoalan siapa nanti yang
menjadi Sultan adalah persoalan perangkat adat.Asalkan berjalan sesuai proses, sesuai dengan
hukum adat yang berlaku.Walaupun tidak semudah apa yang dipikirkan, sehingga
perangkat adat harus benar-benar mendudukan prosesnya sesuai dengan tatacara
yang berlaku, dan itu menghabiskan waktu yang cukup lama. Jika kita tarik kebelakang,
di masa Sultan Iskandar Muhammad Jabir Sjah ke Sultan Mudaffar Sjah II memakan
waktu kurang lebih sebelas tahun dari tahun 1975 Sultan Iskandar Muhammad Jabir Sjah mangkat, sampai 1986 Sultan
Mudaffar SjahII baru menjadi Sultan, menggantikan ayahnya.
SISTEM
PEMILIHAN SULTAN TERNATE
Hadirnya
Islam di Ternete melalui konfrensi Foramadiahi pada tahun 1205, yang disepakati
lewat musyawarah oleh empat petinggi Soa/komunitas pertama di Ternate oleh para
Momole: Momole Fora, Momole Tobona, Momole Tubo, dan Momole Tabanga. Dari hasil
musyawarah tersebut kemudian Islam diterima sebagai agama yang dianut dan menetapkan Kolano Matiti Foramadiyahi
sebagai Kolano pertama. Berdasarkan pertimbangan bahwa Islam memiliki kesamaan
dengan nilai-nilaiadat saat itu, hal tersebut dapat kita lihat dari sastra
lisan Ternate, “Adat Ma toto Agama, Agama
Ma toto Kitabullah, Kitabbullah MatotoJou Allah Ta’Ala” artinya “ Adat
berdasarkan agama, Agama berdasarkan Al-qur’an, Al-qur’an berdasarkan Allah
SWT”. Seiring berjalannya Islam sangatlah berpengaruh dalam sistem politik di
Kesultanan Ternate, dari awal berdirinya Kesultanan hingga saat ini.(lihat. Abdul Hamid Hasan. Aroma Sejarah dan Kebudayaan Ternate,
1998).
Pengaruh tersebut dapat dilihat dari
fungsi seorang sultan dalam menjalankan setiap kebijakannya. Sultan menjalankan
dua fungsi tugas sekaligus, di bidang pemerintahan serta keagamaan (syariat),
bahkan dalam sistem pewarisan tahtannya. Sistem pemilihan sultan Ternate
menjadi suatu tradisi yang sudah berlangsung lama, dalam praktik politik di
kesultanan Ternate, hingga saat ini dinilai cukup kokoh dalam mempertahankan sistem
pemilihan di negeri Al – Ghafilin (nama lain dari Ternate), berdasarkan
beberapa literatur dan tuturan sumber yang nanti akan diulas oleh penulis.
Pemilihan sultan Ternate,berawal dari
musyawarah para petinggi dari empat klan(Gam
Raha) diantaranya; Soa-Sio, Sangaji, Heku, dan Cim. Gam Raha yang merupakan
representasi dari masyarakat sipil (Soa – Sio dan sangaji), dan Militer ( Heku
dan Cim). Dalam kesultanan Ternate yang menarik adalah kesultanan Ternate tidak
mengenal putra mahkota. Gam Raha bertugas melakukan semacam screening terhadap calon Sultan,
sebelumnya seorang calon sultan memiliki zuriat (garis keturunan) dari sultan sebelumnya.Calon
sultan bisa anak laki-laki dari saudara kandung sultan sebelumnya atau yang
masih memiliki garis keturunan dengan sultan-sultan sebelumnya, terkecuali
sultan sebelumnya tidak memiliki anak laki-laki.Tetapi selama sultan sebelumnya
masih memiliki anak laki-laki, maka merekalah yang memilik hak sepenuhnya untuk
melanjutkan tahta dari ayahnnya.
Selajutnya, laki-laki yang sudah aqil
balik (mukalalaf), seorang Muslim, dan memiliki pengatahuan secara intelektual,
keislaman, spiritual dan adat istiadat serta memiliki sifat yang amanah,
tawaddu, siddiq, arif dan bersahaja. Jika syarat itu telah dimiliki seorang
calon sultan, maka Gam Raha segara menyerahkan nama calon sultan ke Fala Raha
yang terdiri dari; Kimalaha Marsaoly, Kimalaha Tomagola, Kimalaha Tomaito, dan
Kimalaha Tamadi yang bertugas sebagai dewan pertimbangan di Kesultanan Ternate.
Jika nama tersebut telah disepakati oleh Fala Raha secara bersama oleh bobato
18 (Bobato nyagi moi se tufkange) yang berfungsi sebagai lembaga pemilihan sultan,
yang juga memiliki hak membuat aturan sesuai dengan Hukum Adat. Akan tetapi keputusan
belum dapat diambil tanpa kahadiran Panglima (Kapita Lau), harus didampingi
oleh Kimalaha Labuha dan Kimalaha Tobona sebagai keterwakilan dari unsur
militer. Karena tanpa kehadiran Kapita Lau dalam pengambilan keputasan maka
keputuasan tersebut dianggap ilegal, meskipun Kapita Lau tidak memiliki hak
suara. Jika didalam tata negara, Komisi 18 bisa disamakan dengan MPR, maka Kapita Lau disamakan seperti Menteri
Pertahanan. (lihat, Mudaffar Sjah, Eksistensi Kesultanan Ternate dalam Sistem
Tata Negara Republik Indonesia).
Setelah nama calon sultan telah diserakan,
bobato nyagi moi se tufkange
melimpahkan tugas kepada bobato akhirat (bidang yang mengurusi keagaamaan) yang
di pimpin oleh Kalem (Imam besar kesultanan Ternate), kemudian Kalem
memerintahkan para modim atau muajin agar segera memanggil calon sultan
tersebut dengan cara Koro (memangil secara lisan dengan menggunakan bahasa
Ternate) untuk melakukan prosesi selanjutnya di dalam kamar khusus di istana
kesultanan yang dikenal sebagai kamar puji. Di kamar tersebutlah tersimpannya Mahkota
(Stampa) Sultan Ternate yang sangat disakralkan oleh masyarakat adat Ternate. Di dalam kamar puji, calon sultan harus berpuasa selama tujuh
hari serta bertafakur kepada Yang Maha Kuasa. namun ada juga sumber yang
mengatakan prosesi yang dilakukan di dalam kamar puji harusnya selama empat puluh empat hari dengan segelas
air putih, jika prosesi di dalam kamar
puji dilewati selama tujuh hari ataupun empat puluh empat hari dan dilakukan
dengan sungguh-sungguh maka karakter
kekhalifaan akan terbentuk dalam pribadi seorang calon sultan. Khalifa dalam
pandangan orang Ternate ialah bersemayamnya derajat yang disebut Kolano dalam
diri seseorang calon Sultan.Hal tersebut hanya dapat di lihat melalui kemampuan
spiritual oleh perangkat adat yang memiliki kemampuan tersebut.
Selama berlangsungnya proses di dalam kamar
puji, sang calon sultan akan di pantau oleh Ngofa Ngare pihak Raange (perangkat
adat yang bertugas di dalam kesultanan) yang terdiri dari: Sowohi (protokoler
kesultanan), Sadaha Kadatong (kepala rumah tangga kesultananan), dan dibantu
oleh soa ngare dan suseba (yang mengurusi segala kebutuhan sultan). Setelah prosesi di kamar puji telah
selesai dan mampu meleweti segala ujian di dalam kamar puji, maka sowohi beserta kimalaha Marsaoly meletakkan mahkota ke
kepala calon sultan dan jika mahkota tersebut cocok di kepala sang calon sultan
maka dia layak dikukuhkan sebagai sultan, serta di sumpah di atas Al – Qur’an 30
Juz dan sumpah Baba Ete (leluhur). Kemudian diikuti pembacaan Rorasa Kolano
(bai’at) yang dibacakan oleh Kimalaha Marsaoly, kemudian Sultan yang sudah
selesai di sumpah dan dibacakan Rorasa kolano maka sang sultan akan diberikan
gelar sebagai Khalifah Tubaddurrasul
Kolano Ma Lamo-Lamo, Alam Ma Kolano, Kolano Moloku Kie Raha Buldan Ternate.
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa selamat oleh Kalem. Setelah pembacaan
doa, Sultan/Kolano akan berjalan keluar depan pintu Kadato Kesultanan (balakun)
dan diperkenalkan (Sinonako) kepada Bala Kusu Se Kano-Kano (Rakyat), kemudian
Bala Kusu se kano-kano akan menyambut Sultan/Kolano dengan ucapan Suba Jou.
Jika merujuk pada sistem pemilihan
Sultan yang sudah dipaparkan penulis di atas, maka sudah seharusnya dan
selayaknya perangkat adat kesultanan Ternate lebih serius menindak-lanjuti
prosesi pengangkatan Sultan di Kesultanan Ternate,berdasarkan tata cara yang
sudah berlaku sejak dahulu. Pertanyaannya ialah apakah perangkat adat
kesultanan Ternate saat ini memiliki pengetahuan tentang tata cara pengangkatan
sultan atau tidak ?Kenapa prosesi pengangkatan Kolano Ma Soa yang dilakukan
oleh perangkat adat tidak sesuai dengan tata cara yang sudah berlaku, sehingga
tidak memiliki pengakuan dari masyarakat. Perangkat adat sebagai lembaga
institusi dalam kesultanan seharusnnya tidak mencederai nilai-nilai Adat Se
Atoran, sehingga tidak menjadi sebuah paradoks dalam kebudayaan masyarakat
Ternate yang sudah menjadi tradisi berabad-abad silam.
Sudah saatnya perangkat adat kesultanan
untuk lebih serius dalam menangani masalah tersebut dan ini merupakan pekerjaan
rumah terberat untuk perangkat adat agar segera mendudukkan masalah terkait
dengan tata cara pengangkatan sultan yang sesuai dengan mekanismenya. Agar perangkat
adat tidak terkesan hanya dilantik
sebagai perangkat adat tetapi
tidak memahami fungsinya atau tupoksi dari jabatan yang dimiliki oleh perangkat adat itu sendiri. Serta
lambat dalam menangani masalah yang
dihadapi saat ini oleh kesultanan Ternate, dan harus secara kolektif
dalam menjalankan tugasnya. Sebab ini menyangkut dengan martabat dan marwah
kesultanan Ternate, bahkan seluruh masyarakat Ternate khususnya dan Moloku Kie
Raha umumnya.
Penulis mengutip salah satu dola bololo
yang berbunyi “Tike Aku Ua Tapi I Hado I
Nunako Tolak Me Aku Ua, Kodrat Se Iradat Uci Pilih Ena Ma Mancia Bara Daullah
Ma Dadi Ma Dehe Sesioko” artinya“ janganlah kau cari, tetapi telah datang
kepadamu, jangalah engkau menolak Kodrat dan Iradat turun memilih manusianya,
dan jika engkau yang terpilih jalankanlah dengan amanah”. Dola bololo ini
adalah pesan para leluhur yang harus dijadikan pegangan pada setiap orang agar
dapat menjalankan amanahnya secara baik sebagai tanggungjawab.Sukur dofu-dofu.
Suba Jou. []
NB : Tulisan ini terbiit di Malut Post, edisi 18 januari 2018 (opini)
