TUHAN ITU ADA, TETAPI BUKAN “ada” DI ISI KEPALA MU


Oleh :
Supriyanto R senen

MANUSIA ialah mahluk yang (ber)Tuhan, masalah ke-Tuhan-an menjadi sesuatu yang seksi diwacanakan di era clasik hingga konterporer. Nyatanya pada kehidupan kita akan menemui pelbagai macam konsep ke-Tuhan-an melului agama-agama yang menjadi sarana menuju pada Tuhan sebagai maha “ADA” yang dikultuskan. Penjelasan secara ontologis kata “ada” (being), tentunya menjadi satu keresahan sehingga merangsang setiap mahluk ber-Tuhan yang memiliki fitrahnya melalui akal dan pikiran, sehingga menjadi sesuatu pembahasan yang spiritual serta bersifat mistik dalam kehidupan, bagi Haiddeger (tokoh fenomenalogi), “ada manusia “dasain” sebenarnya di mulai dari sebuah ketiadaan yang terlempar masuk kedalam di dunia realita”. Tentunya keresahan serta rasa penasaran menggiring pada pertanyaan ada di mana serta di mana dia berada. Jika meminjam kata Jalaluddin Rummi “jalan untuk menuju langit ialah pikiran, tetapi untuk menuju pada deminsi Tuhan injak-injaklah kepala mu” . Artinya pada deminsi itu hilanglah nalar dan pikiran kita sebab jika kita sudah mampu mengkonpsesikan, memosisikan Tuhan melalui pikiran maka sudah bukan lagi Tuhan yang esa. Tetapi tuhan yang kau ciptakan sendiri melalui pikiran mu. Maka dengan sengaja maka kau telah membunuh eksistensi Tuhan, bagi Nietzsche (Filsuf), dalam bukunya “Tuhan telah mati”, karenakan mati dengan keegoisan, mati dengan ke-aku-an. Sebab manusia dengan keyakinan nalarnya sebagai pembunuh keyakinan yang sebenarnya. Atau dengan kata lain merasa lebih tinggi dengan manusia lainnya.

            Kekeliruan pada manusia ialah selalu mengkultuskan sesuatu yang tidak sepantasnya di kultuskan, oleh karenanya membawa pada suatu pikiran plural. Sebagai insan yang memiliki keimanan serta keyakinan pada yang mutlak, tentunya harus mampu melepaskan segala sesuatu yang menjadi corak dalam persoalan keimanan dan kepercayaan. Tentunya kita harus menjadi manusia yang hina di hadapan Tuhan sehingga klaim serta jastifikasi kebenaran pada diri kita tidak mendominasi. Di Indonesia, kehidupan masyarakat selalu dikejutkan dengan dengan isu-isu keyakinan ataupun agama, stigma masyarakat sengaja di bentuk serta di benturkan agar diikutsertakan dan di libatkan pada masalah tersebut. Jikalau di simak dengan seksama kita akan menumukan konten permasalahannya. Pada akhir-akhir ini kita sengaja di sibukkan dengan isu-isu agama dikarenakan isu tersebut menjadi senjata yang ampuh dan wacana yang sangat seksi untuk perebutan kekuasaan serta mengedepankan kepentingan secara pribadi yang mengatasnamakan agama, sehingga yang dilakukan oleh mereka hanya selalu mengklaim kesuciannya, yang beragama dengan pikirannya sehingga pehamannya pun menjadi pemahaman agama yang konservatif. Ironisnya lagi, jika ada yang menentangnya secara pemikiran maka dianggap menentang agama. Padahal agama sendiri mengajarkan agar saling menghargai serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga  kita tak bisa selalu bersifat suci dan paling benar, agar kita tak selalu merasa benar di jalan yang sesat. Tentunya setiap manusia memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Islam dengan konsep keyakinannya sendiri, begitu juga dengan agama yang lainnya. Kita tak punya hak untuk ikut-sertakan mengintervensi keyakinan orang sebab itu ialah wilayah yang sangat private setiap umat beragama. Sangatlah tidak etis jika hak daulat setiap manusia, kemudian di paksakan untuk berdaulat dengan kehendak kita. Setiap manusia mempunyai kehendak untuk memilih jalan spiritualnya masing-masing. Maka sudah seharusnya kita berlaku bijak dalam menjalankan kehidupan baik secara individual maupun sosial. Tentunya setiap manusia mempunyai ikhtiar - ikhtiar dalam berkehidupan mencapai takdir yang di semogakan.


 KLAIM KENABIAN
Narasi kafir, bid’ah serta haram menjadi narasi yang sangat ngeri yang akhir-akhir ini dijadikan sebagai senjata yang mampu mematikan lawan yang tak sepikiran dengan mereka, klaim kenabian (klaim kenabian istilah yang di pakai nurkholis majid “cak nur” dalam buku islam universal). Istilah ini sangatlah tepat untuk meneropong kondisi keumatan dan kebangsaan saat. Karena istilah tersebut sangatlah tepat jika dikonteks pada kondisi kebangsaan kita saat ini, sebab istilah itu telah terinstitusi, menjelma serta terejewantahkan dalam diri mereka yang selalu merasa suci dan benar, yang berjenggot dan memakai celana cingrang yang patut disurgakan, oleh karenanya acap kali penulis merasa sangat terasing dengan narasi seperti itu, apakah Tuhan begitu mendiskriminasi tananan hidup mahluk yang di ciptakannya. Tentunya tidak. Namun sering kali yang kita jumpai dalam realitas saat ini ialah seperti itu. Beragama seharusnya melahirkan keselarasan antara umat beragama lainnya, bukan hak kita untuk ikut campur, sebab pada bagian tersebut adalah hak preogratifnya Tuhan. Kita tak bisa membanggakan isi kepala kita, sejatinya proses pengatahuan memberikan gamabaran agar akal sehat di gunakan untuk saling menuangkan kehamonisan dalam berkehidupan bukan berarti harus mempertuhankan pengetahuan kita. Pengatuhan itu fitrah bagi manusia, kerahmatan bagi manusia, yang diberikan Sang pemberi kenikmatan, sang pemilik jagat raya, tak pantas untuk kita menyombongkannya. Jika kita terus menyobongkan apa yang kita miliki, sama halnya dengan kita telah mempertontonkan, dan menelanjangi keburukkan kita sendiri, sebab di hadapan yang maha ada kita hanyalah mahluk yang tak ada apa-apanya. Maka ke-tauhid-an yang merupakan konsep ke-Tuhan-an umat Islam ialah tunduk dan pasrah pada Tuhan. Tentunya semua agama menuju pada satu Tuhan, dengan penyebutan nama yang berbeda, sebab Tuhan itu Satu, dia itu Esa, dialah Kausa Prima dan dialah yang Maha Ada. Yang kita warisi dari nabi seharus akhlaknya, sehingga kita mampu mencipkan sebuah penghormatan pada manusia lainnya, sekalipun berbeda aqidah akan tetapi kita satu sebagai manusia. Bukan bersikap seraya seperti nabi yang pada aktualisasinya kita saling menyerang antara satu dengan yang lain, merasa paling suci tetapi sifat seperti iblis, berlaku seperti jibril tetapi moral seperti ifrit. Tuhan itu ada, ada pada luar ruang dan waktu “kemawaktuan” ( temporal). Sehingga hanya bisa menyakini dan mengimani. Tidak semua yang kita yakini harus kita imani tetapi yang sudah seharusnya kita Imani tentunya kita yakini. Anda bisa meyakini di laut ada ikan tetapi apakah anda harus mengimaninya tentunya tidak. Tetapi ketika kau mengimani Tuhan mu tentu kau sudah meyakinninya. Maka kebenaran itu cerminan keindahan, keindahan ialah cinta, dan cinta itu Tuhan.


Kita kehilangan rangsangan moralitas etika, nilai secara kemanusian dalam beragama dan (ber)Tuhan. Agama mengajarkan perdamaian kita ikut sertakan mengumbarkan kebencian, Nabi mangharuskan persatuan kita diikut-sertakan mengumbar permusuhan. kita tidak beragama pada symbol, kita beragama pada fashion. Kita tidak (ber)Tuhan pada jenggot kita tidak bertuhan pada Jubah, kita tidak bertuhan pada surban. Akan tetapi  Kita beragama pada agama pada agama dan (ber)Tuhan pada Tuhan. Sesungguhnya agama itu sumber perdamaian, dan Tuhan Maha Penyayang. Maka ciptakan perdamaian dan kasih sayang dalam kehidupan pada setiap umat manusia. Kita bisa beda secara agama tetapi kita satu secara kemanusiaan. Kita bukan Malaikat, kita bukan nabi apa lagi Tuhan. Kita hanyalah manusia yang selalu tunduk dan pasrah. Sehingga tidak ambigu dan saling menyesatkan. Jangan sampai kita (ber)Tuhan karena takut neraka dan menginginkan surga. Jika surga dan neraka tidak di ciptakan apakah kita masih mau (ber)Tuhan serta selalu tunduk dan pasrah padanya.