CERITA RAKYAT MOLOKU KIE RAHA: JAFAR SADIK DAN BOKI SITI NUR SAFA


Oleh :
Supriyanto R Senen

”Moloku Kie Raha pada zaman dahulu dibagi menjadi empat wilayah kesultanan
asal muasal Leluhur kesultanan yang ada di Moloku Kie Raha sering
dihubungkan dengan cerita rakyat Moloku Kie Raha”

Pada jaman dahulu hiduplah seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Ia tinggal seorang diri di desa Limau Foramadiahi, Ternate. Di dalam hutan yang tak jauh dari desa itu terdapat telaga yang berair amat jernih. Telaga Ake Santosa (Air Santosa) namanya. Jafar Sadik sering duduk sendirian di sebuah batu besar yang berada di pinggir telaga Air Santosa, terutama ketika ia beristirahat setelah berburu atau mencari kayu bakar di hutan.
Pada suatu sore Jafar Sadik kembali duduk di batu besar di pinggir telaga Air Sentosa itu. Langit di atas berwarna jingga yang amat indah ketika dipandang. Seperti tak puas-puasnya Jafar Sadik melihat keindahan langit ketika itu. Tiba-tiba pandangan Jafar Sadik tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Tampak seperti pelangi. Kian jelas Jafar Sadik mengamati, kian jelaslah pelangi itu. Pelangi itu kian membesar dan memanjang. Ujung pelangi jatuh di atas permukaan telaga Air Santosa. Jafar Sadik terperanjat saat melihat tujuh bidadari terbang di atas lengkungan pelangi. Ketujuh bidadari itu terbang menggunakan selendang yang serupa dengan tujuh warna pada pelangi. Masing-masing bidadari mengenakan pakaian berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Jafar Sadik segera bersembunyi di balik batang pohon besar setelah tujuh bidadari itu hampir tiba di permukaan telaga. Ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan tujuh bidadari berwajah amat jelita itu.
Tujuh bidadari itu lalu melepaskan selendang masing-masing dan meletakkannya di atas bebatuan yang tak jauh dari telaga. Mereka lantas mandi di kejernihan air telaga. Tujuh bidadari itu mandi sambil bercanda.
Jafar Sadek terus mengamati. Tertariklah ia pada bidadari berselendang ungu. Ia ingin memperistrinya. Jafar Sadik lantas berjalan mengendap endap mendekati selendang-selendang itu diletakkan. Diambilnya selendang berwarna ungu dan disembunyikannya di balik bajunya.
Ketika hari menjelang malam, tujuh bidadari itu berniat kembali ke Kahyangan. Si bidadari berselendang ungu yang merupakan adik paling bungsu tampak kebingungan karena tidak menemukan selendangnya. Enam kakaknya berusaha turut mencari, namun selendang itu tidak juga mereka temukan. Pelangi yang hampir pudar membuat enam kakak si bidadari bungsu harus segera kembali pulang ke Kahyangan. Mereka terpaksa meninggalkan si bidadari bungsu sendirian seraya berpesan, "Baik-baiklah engkau menjaga diri."
Si bidadari bungsu hanya bisa bersedih hati meratapi nasib malangnya. Air matanya bercucuran ketika melihat enam kakaknya terbang kembali ke Kahyangan.
Ketika si bidadari bungsu tengah meratapi nasibnya, Jafar Sadik keluar dari persembunyiannya dan menghampiri. Sapanya, "Maaf adik, siapakah engkau ini? Mengapa pula engkau berada di telaga ini sendirian? Tidakkah engkau takut sendirian di tempat ini?"
Si bidadari bungsu terkejut mendengar sapaan Jafar Sadik. Ditenangkannya kegugupannya sebelum menjawab sapaan Jafar Sadik, "Tuan, namaku Boki Nur Safa. Aku kehilangan selendang hingga tidak bisa pulang kembali ke Kahyangan.”
Jafar Sidik lantas menyarankan sebaiknya bidadari bernama Boki Nur Safa untuk turut bersamanya. Boki Nur Safa bisa menerima saran Jafar Sadik, Ia mengikuti Jafar Sadik. Tidak berapa lama kemudian Jafar Sadik dan Boki Siti Nur Safa menikah. Selama mereka tinggal serumah, Jafar Sadik menyembunyikan selendang Boki Nur Safa di bubungan rumahnya. Jafar Sadik juga berjanji kepada istrinya untuk tidak mencegah kepulangan istrinya ke Kahyangan jika selendangnya telah ditemukan.
Waktu terus berjalan. Kehidupan keluarga Jafar Sidik terlihat rukun dan damai. Jafar Sidik juga telah dikaruniai empat anak lelaki. Jafar Sidik mendidik empat anaknya itu dengan balk. Ia membekali empat anak lelakinya itu dengan ajaran agama Islam. Jafar Sadik sangat berharap empat anak lelakinya itu akan tumbuh menjadi orang-orang yang baik kelakuannya dan kelak akan hidup dalam kebersamaan.
Walaupun telah hidup berbahagia dengan suami dan empat anaknya, namun Boki Nur Safa tetap juga berniat kembali ke Kahyangan. Pada suatu hari ia melihat pelangi yang muncul indah di atas bubungan rumah. Ketika ia tengah mengamati pelangi, mendadak pandangannya terantuk pada sehelai kain berwarna ungu yang terselip di bubungan rumah. Betapa terperanjatnya ia ketika berhasil mengambil kain yang tak lain selendangnya itu.
Betapa kecewanya ia pada suaminya. Selama itu suaminya telah berbohong padanya. Kekecewaan yang dirasakannya berubah menjadi kemarahan. Ia akan kembali ke Kahyangan tanpa lagi berpamitan dengan suaminya.
Sebelum berangkat, Boki Nur Safa menghampiri empat anak lelakinya dan berpesan, "Hendaklah kalian senantiasa hidup rukun dan saling menolong. Saling sayang-menyayangilah kalian berempat karena kalian berasal dari orangtua yang sama. Senantiasa ingatlah kalian pada pesan ibu, taat dan patuhi perintah dan nasihat ayah kalian."
Boki Nur Safa lantas mengenakan selendangnya dan tubuhnya melayang, terbanglah ia, kembali ke negeri Kahyangan. Empat anaknya hanya bisa menatap kepulangan ibu mereka itu dengan tangis sedih. Semakin jauh tubuh ibu mereka, semakin keras tangisan empat anak itu.
Jafar Sadik terperanjat ketika pulang dari Iadang dan mendapati empat anak lelakinya menangis. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Mana ibu kalian?"
Empat anak lelaki itu lantas menceritakan kejadian berkenaan dengan ibu mereka yang telah kembali ke Kahyangan. Jafar Sadik sangat sedih. Sungguh, ingin ia terus bersama dengan istri yang amat dicintainya itu untuk mengasuh dan merawat empat anak lelaki mereka. Namun, semua harapan dan keinginannya itu telah musnah, menguap bagai air embun terkena panasnya sinar sang matahari.
Jafar Sadik sendirian mengasuh, merawat, dan mendidik empat anak lelakinya. Senantiasa di didiknya empat anaknya itu dengan ajaran agama Islam. Empat anak itu pun tumbuh membesar seiring berjalannya sang waktu. Keempatnya tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang baik perangainya dan taat beragama.
Namun pada suatu hari Jafar sadik mengajak anaknya yang paling bungsu untuk mencari Ibunya, dalam perjalanan Jafar Sadik selalu memohon dan berdoa kepada yang Maha Kuasa di berikan petunjuk supaya segera menemukan istrinya Boki Siti Nur Safa yang telah kembali ke kayangan. Dalam perjalan tiba – tiba seluruh pepohonan di hutan bergoyang kencang seperti kedatangan angin ribut, Jafar Sadik dan anak bungsunya terdiam sejenak sambil melirik ke atas rintihan pohon.
Tiba-tiba Jafar Sadik dan anaknya terkejut dengan kedatangan seekor burung garuda besar dan memiliki kepala dua yang kemudian menghampiri mereka, “Tuan mau kemana siapa tau saya bisa membantunya” Jafar Sadik dan anaknya pun kaget karena mendengar burung berkepala dua bisa berbicara. “tak usah heran saya GOHEBA saya siap menghatarkan Tuan bertemu istri Tuan dikayangan”. “Terima kasih Goheba atas bantuannya dengan senang saya dan anak saya akan menerimanya”. Jawabnya. “naiklah ke pangkuan ku Tuan saya akan hantarkan ke kayangan untuk bertemu istri Tuan”.
Tak menunggu lama Jafar sadik dan anaknya lalu menaiki pangkuan burung goheba yang siap untuk mengatarkan meraka bertemu dengan Boki Siti Nur Safa. Tibalah mereka di negeri kayangan. Namun kedatangan mereka di ketahui oleh raja kayangan yang merupakan ayah dari Boki Siti Nur Safa. Tanpa menuggu lama – lama, Jafar Sadik dan anaknya langsung menghampiri Sang Raja Kayangan, “Ada apa gerangan anda ke sini” tanya Sang Raja. “Tuan saya ingin bertemu istri saya dan membawanya pergi tolong untuk indahkan permitaan kami” jawab Jafar Sadik. “ permitaan anda bisa saya terima tetapi ada syaratnya” (raja). “apapun syratnya saya akan siap memenuhinya.” Jawab Jafar Sadik. “baiklah syaratnya kau harus bisa membedakan serta harus tepat menujuk yang istri mu, ke tujuh anak telah berjejer di belakang kalian, jika kau salah tunjuk maka kepala mu akan dipenggal”Raja. Jafar Sadik berbalik dan melihat ke tujuh putri yang sedang berdiri  dengan semua wajah yang sama.
Jafar sadik pun sempat kebingungan. Tiba – tiba datang seekor lalat menghampirinya lalu berbisik, “saya bisa membantu Tuan asal  Tuan berjanji, kelak di bumi nanti sebelum semua makanan di sentuah, saya yang harus duluan menyentuhnya”. Jafar Sadikpun menyepaki perjanjian dengan lalat “Tuan perhatikan kalau nanti aku hinggap di mana dari tujuh putri itu, dialah istri Tuan” lalu sang lalat terbang dan hinggap di salah satu pipi dari ke tujuh putri tersebut. Tanpa ragu – ragu  lagi Jafar sadik pun menujuk tangan ke salah putri itu lalu berkata “dialah istri ku”. Setelah itu sang Raja kayangan akhir menerima Jafar Sadik sebagai menantunya. Lalu Boki Siti Nur Safa dan Jafar Sadik di restuhi oleh Raja Kayangan dan mengijinkan mereka kembali serta hidup bersama di bumi. Sebelum perjalanan kembali mereka di berikan berbagai macam hadiah dari sang Raja Kayangan.
Di saaat mereka hendak mau kembali, anak bungsu mereka menangis dan tak mau kembali ke bumi, Boki Nur Safa dan Jafar Sadik membujuknya agar berhenti menangis namum bujukan rayuan tak di berhasil membuat anak bungsu mereka berhenti menangis, Sang kakek yang merupakan Raja Kayangan pun menghampiri dan ikut membujuknya tetapi bujuk rayuan kali ini berhasil, sebelum anak bungsu itu berhenti menangis dia di berikan dan pakikan sebuah kopiah di atas kepalanya, kopiah itu kemudian berubah menjadi Mahkota yang indah serta di hiasi batu-batuan dari intan, permata, jamrut bahkan makhota yang awalnya kopiah itu tiba-tiba ditumbuhi rambut. “wahai cucu ku mahkota itu nanti akan menjadikan kau pemimpin di negeri mu, maka amanahlah terhadap rakyat mu nanti”.
Mereka bertigapun kembali ke bumi.......    
Ketika  negeri mereka terbagi menjadi empat wilayah kekuasaan (Moloku Kie Raha), kesemua anak Jafar Sidik ditunjuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Anak sulung Jafar Sidik menjadi sultan Moti (dipindah ke jailolo menjadi Kesultanan Jilolo) dia adalah Sultan Darajati . Anak keduanya menjadi sultan di Makian (dipindahkan ke Bacan menjadi Kesultanan Bacan) dia adalah Sultan Kitjil Buka. Anak ketiganya menjadi sultan di Tidore di adalah Sultan Suhadjati. Anak bungsu Jafar Sidik dan Boki Siti Nur Safa menjadi sultan di Ternate.dia adalah Kaitjil Babb Mansyur Malamo atau Sultan Cico Bunga. Syahdan, para pemimpin Maluku di kemudian hari berasal dari empat anak lelaki Jafar Sidik itu dan Boki Sti Nur Safa.

Cerita Rakyat Moloku Kie Raha : Cerita Asal Muasal Kesultanan Moluku Kie Raha (Maluku Utara) ini menjadi sebuah cerita mitos, masih menjadi sebuah kontraversi, namum sebagian besar  masyarakat masih berpegang dan mayakini bahwa cerita ini benar-benar ada. melalui peninggalan-peninggalan yang ada di Kesultanan .

Mohon maaf jika ada kata dan bahasa yang salah. Suba Jou


BERRDIRINYA KESULTANAN TERNATE

Oleh :
Supriyanto R Senen

Asal Usul Kerajaan Ternate
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang ArabJawaMelayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Struktur Kerajaan
Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.

Kolano dan Sultan Ternate
Masa jabatan
Baab Mashur Malamo
1257 - 1277
Jamin Qadrat
1277 - 1284
Komala Abu Said
1284 - 1298
Bakuku (Kalabata)
1298 - 1304
Ngara Malamo (Komala)
1304 - 1317
Patsaranga Malamo
1317 - 1322
Cili Aiya (Sidang Arif Malamo)
1322 - 1331
Panji Malamo
1331 - 1332
Syah Alam
1332 - 1343
Tulu Malamo
1343 - 1347
Kie Mabiji (Abu Hayat I)
1347 - 1350
Ngolo Macahaya
1350 - 1357
Momole
1357 - 1359
Gapi Malamo I
1359 - 1372
Gapi Baguna I
1372 - 1377
Komala Pulu
1377 - 1432
Marhum (Gapi Baguna II)
1432 - 1486
1486 - 1500
1500 - 1522
1522 - 1529
1529 - 1533
1533 - 1534
1535 - 1570
Babullah Datu Syah
1570 - 1583
Said Barakat Syah
1583 - 1606
Mudaffar Syah I
1607 - 1627
Hamzah
1627 - 1648
Mandarsyah
1648 - 1650 (masa pertama)
Manila
1650 - 1655
Mandarsyah
1655 - 1675 (masa kedua)
Sibori
1675 - 1689
Said Fatahullah
1689 - 1714
Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin
1714 - 1751
Ayan Syah
1751 - 1754
Syah Mardan
1755 - 1763
Jalaluddin
1763 - 1774
Harunsyah
1774 - 1781
Achral
1781 - 1796
Muhammad Yasin
1796 - 1801
Muhammad Ali
1807 - 1821
Muhammad Sarmoli
1821 - 1823
Muhammad Zain
1823 - 1859
Muhammad Arsyad
1859 - 1876
Ayanhar
1879 - 1900
Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi)
1900 - 1902
Haji Muhammad Usman Syah
1902 - 1915
Iskandar Muhammad Jabir Syah
1929 - 1975
1986 – 2015





Daftar Pustaka :
  • M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
  • Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
  • Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987.

KU SAPA KAU DALAM DOA KU

(Salam Rindu untuk mu Ayah)



Dalam khayal kau nampak jelas 
suratan zaman kian mengikis peradaban ini
namun cermin akan diri mu tetap utuh 
ini bukan persoalan jemari saling bersentuhan
tetapi kalbu yang sering menyapa dalam Doa

untuk berpaling di pangkuan mu adalah sesuatu yang mustahi bagi ku
sebab kita telah di pisahkan oleh Tuhan
kau titipkan aku sesosok wanita perkasa yang mampu
menjadi diri mu serta dirinya yang sebenarnya

ayah teruslah menyapa aku dalam tidur ku,
karena itulah tempat kita untuk saling berbagi rasa
dunia itu tak lagi menjadi mimpi
tetapi nyata namum berakhir dengan fotamorgana. 

Hanya dengan khiasan katinilah
aku dapat menyuarakan isi kerinduan hati ini 
aku rindu akan bisikin mu, aku rindu akan pelukan mu
sebab rindulah menjadi isyarat agar aku dapat menyapa dikau


Yogyakarta, Awal Februari 2017
Supriyanto R Senen