Oleh :
Wahyudi Gafur
Pegiat PUSMAT (Pusat Studi Mahasiswa Ternate)
"Memindahkan gunung lebih ringan
daripada memindahkan hati dari tempatnya"
(Imam Ja'far Shadiq)
Pagi itu sambil duduk dan menikmati
senyum pulau halmahera, deretan cahaya kuning menyentuhku dengan kilau
indahnya, cahayanya menyapaku bersama gamalama yang berdiri kokoh tepat di
belakang, diam dalam perenungan, tersenyum menikmati kegelisahan, kuat meski
telah rapuh dengan perlahan, benarkah itu ? akupun mulai bertanya . perlahan
tatapanku mulai mengantikan posisinya. Disana tepat disudut pulau hiri ya’
disana terlihat arus dengan gelombang ombak pelan menderu pesisir membangunkan
roh yang lesuh tertidur dipunggawa, aku hendak berpikir tentang kesedihan,
harapan dan impian. Ratapan pasir-pasir putih di tepi pantainya yang tak
beraturan bentuknya, bentuk dan rupanya yang kehilangan tanda dan makna.
bingung menyelimutiku dengan tanda tanya, iya’ masih bersama tanda tanya . Yang
terpikirkan hanyalah sebuah tanya, dimanakah letak kesempurnaan pulau itu ?
kesempurnaan karakter, rupa, bentuk dan penghuninya.
Disaat yang sama penglihatanku mulai
menoleh kebelakang, dalam perenungan dan kegelisahan tampak istana yang
bentuknya seperti posisi sujudku waktu subuh kemarin. Nalarku masih setia
bersama estetika, masih melihat bentuk, rupa, dan makna, abstraksi tak
sedikitpun memberiku jalan pada kebenaran yang sebenarnya tentang penghuninya
yang tak telihat rupanya. tak apalah setidaknya meyadarkanku tantang sekelumit
perbandingan dan kenyataan. Imajinasiku sampai pada ingatan tentang bangunan
itu yang dulunya tua dan beratapkan katu, didalamnya lahir para raja dan
pengikutnya yang setia, ratu yang berparas cantik seperti bidadari surga,
seyumannya menyimbolkan kekuatan spritual leluhurnya, amarahnya adalah nasihat
ketika pengikutnya mulai takut dengan iblis-iblis penghianat, adalah dia sosok
seorang perempuan yang tak pernah mengangkat dagu ketika para bala menundukkan
kepalanya, ya’ itu dia yang kumaksud.
Bukan istana yang dilapisi emas dan
beratapkan perak, bukan bentuknya yang sekarang, ya’ yang sekarang tampak
seperti kerajaan yang sedang bingung mencari-cari bentuk yang sebenarnya dan
akhirnya tersesat dengan kepentingan dan hanya menyisakan bencana bagi para
penduduknya. Dalam tanya aku bertanya tentang pertanyaan yang tak bermuara,
entah apa yang merasuki tubuh kurus dan bertulang ini yang tersisa hanya tanya
dan tanda ??(ngofa ne.... )
Tanda ??
Tanganku pun sampai disela-sela rambutku
yang panjang. Ado gatal sampe, hehehhe,maklumlah disaat yang sama waktu dan
ruang ini menuntutku untuk berpikir kritis dan imajinatif, konsentrasi penuh
meskipun yang ada hanyalah abstraksi d( klo abstrak berarti tra jelas tu yaa,
kira-kira jelas trada e ... ??? heheh pikir). Rileks , dia p carita masih
berlanjut. Negeri para bidadari, judul yang agak berani bukan, kali ini saya mo
coba bacarita tentang perempuan-perempuan yang pernah dilukiskan dalam sejarah
kerajaan ternate. karena sejarah adalah sebuah peristiwa dalam terminologi yang
sederhana jdi klo bacarita tentang sejarah apalagi eksistensi kerajaan berarti
torang pasti akan bacarita tentang sebab musabab(kausalitas), dinamika, serta
pesan dan makna. Tetapi mungkin, pada carita kali ini torang hanya bacarita
tentang filosofi perempuan dalam sejarah kerajaan ternate saja, dengan berusaha
merekammnya kembali deng bacarita biasa-biasa saja tapi sadiki ilmiah ( setuju
.... ??? ) formal bole, afa dahe ena ma mangale ua .... hihihihi foya saja ....
Bacarita tentang peran perempuan dalam
frame sejarah dan kebudayaan ternate, sayogyanya kita harus melakukan perekaan
kembali pada sastra lisan sebagai seperangkat peninggalan tekstual yang
mempunya makna kiasan dan juga pesan – pesan didalamnya karena ini adalah
bagian dari usaha untuk membangkitkan kembali kesadaran filosofis dalam usaha
pelestarian budaya lokal.
Sastra lisan menjadi suatu tolak ukur
sejarah dalam bentuk teks untuk memberikan gambaran(citra) berupa bentuk
imajinasi masyrakat pada saat itu. Dimana termuat makna yang tersirat tentang
cara-cara hidup baik itu pola berprilaku, landasan berpikir dan juga bertindak.
Torang p baba se ete dulu p skill seni sastra klo menurut hemat saya itu
sangatlah filosofis dan amazing, torang hanya bisa merekam peninggalan
pengetahuan ini dari dudu bacarita saja kng tulis (bolo ng dahe ena ma mangale
ua ... ihhh ). Karena dorang dulu mangkali tara bisa batulis ka’apa ... eee ja
ara ya .....
Imajinasi estetika perempuan dalam
rekaan sejarah moloku kie raha, bukan hanya kecantikannya, melainkan juga
estetika kehidupannya, mulai dari mengandung, melahirkan, membesarkan,
menghidupi, mendidik dll. Adalah merupakan wujud pengabdian secara kodrati
kepada tuhan.
Sebelum islam masuk ke ternate. Pada
periode awal, atau yang biasa disebut dengan periode momole, masyarakat
terpolarisasi dalam bentuk kelompok. Dan setiap kelompok memiliki wilayahnya
masing-masing. Setiap wilayah dipimpin oleh momole atau tokoh perempuan yang
memiliki kesaktian dan kamampuan untuk menyembuhkan penyakit, sebagai wujud
dari pengabdiannya kepada masyrakat.
Secara etimologi MOMOLE yaitu “MO “ yang
berarti” dia perempuan dan “MOLE” yang berarti “kasaktian kebijakan”(estetika
kodrati). Terdapat empat kelompok (marga) yaitu toyo, tobona, tabanga dan tubo.
Sosok perempuan yang terlukis dalam periode ini adalah momole Bai Guna Tobona adalah nama yang dikenal masyarakatnya
karena kesaktian dan kebijaksanaanya dalam memimpin masyrakat saat itu sehingga
mendominasi kepemimpinan tiga marga yang lain (toyo,tubo,tabanga).
Pada era ini, kelompok atau marga
terisolir menempati wilayah yang tidak mudah dijangkau (alias dorang tinggal
baku jao bagitu ......), kehidupan yang marak dengan perniagaan yang mengancam
keberlangsungan pala dan cengkeh membuat mereka membuat suatu pertemuan untuk
menemukan solusi melindungi negeri yaang kaya akan rempah-rempah itu.
Musyawarah yang didudukan pada tahun
1257 merupakan awal mula persetujuan para momole untuk menegakkan tonggak
kekuasaan dengan memilih pemimpin yang disebut sebagai KOLANO yaitu “KOKO”
berdiri/tegak, “LA”dan “NO”atau “NAO” yang artinya kuat. Dan kisah legendaris
ini diabadikan dalam sastra lisan yang sisebut dalam dola bololo “Momole mo
bara nyinga, mangongano jou kolano” yang
berarti “Momole mengandung rasa, mengharapkan sesosok pemimpin.
Begitulah kronologi terbentuknya pulau
gapi dan kerajaannya, dan dikatakan juga bahwa musyawarah itu menyimbolkan
keikutsertaan perempuan dan laki-laki dalam pembentukannya. Yaitu perempuan
atau CIM dan laki-laki yaitu HEKU.yang dalam simbolisasi filosofisnya
perempuan dilambangkan dengan gunung dan laki-laki dilambangkan dengan perahu.
Peninggalan-peninggalan legendaris seperti hidangan dan lambang memberikan kita
suatu kepastian filosofis tentang karakter dan perempuan sebagai pendamping
laki-laki dalam membentuk tata pemerintahan yang menjunjung tinggi kasih
sayang, keharmonisan dan keserasian dalam hidup bersama.
Periode berikunya adalah periode
nursafa. Dikisahkan bahwa nursafa adalah bungsu dari tujuh bidadari yang
bertemu dengan pendatang penyiar islam yaitu djafar sadik. Peristiwa ini
dilukiskan dalam sastra lisan berikut :
Ma wange mai I
pala
Dan matahari pun terbitlah
Ma ngolo mai I
leo
Dan laut pun
tergenanglah
Ma kie mai I poto
Dan gunung
pun muncullah
Ma jele-jela mai I
sasa
Dan rumput-rumput
pun menjalarlah
Ma oti mai I sanga
Dan perahu pun
mendaratlah
Ma diki mai I
uci
Dan
orang pun turunlah
Ma widadari mai I
modaga
Dan bidadari pun ketemulah
Ma kie se kolano mai I
bala Dan
kerajaan serta pemimpin pun muncullah
Sastra lisan diatas mendeskripsikan
tentang kejadian awal pulau gapi, yang mengabadikan pertemuan antara anak negeri
dengan pendatang penyiar islam dan kemudian terjadilah perkawinan dan
menghasilkan empat penguasa pulau-pulau cengkih dan juga pembagian wilayanya
masing-masing, yaitu Kaicil Buka menuju kie besi (pulau makian), Darajati
menuju kie tuanane (pulau moti), Sahajati menuju kie duko (pulau tidore), dan
Mashur Malamo yang menetap di kie gapi (pulau ternate). Peran perempuan dalam
dua periode diatas sama-sama melahirkan tokoh kenegaraan pada awal masuknya
islam dimoloku kie raha. Pemunculan momole membuahkan kolano gapi, sedangkan
pemunculan nursyafa membuahkan empat penguasa kie raha.
Kiasan legendaris dalam bentuk sastra
lisan inilah memberikan ciri pada kepribadian leluhur khususnya perempuan
moloku kie raha (ternate) pada masa sebelum islam dan masa sesudah islam.
Bidadari sebagai pelambang aura kabasaran seorang perempuan dengan estetika
kodrati dengan implemantasinya pada kehidupan ekonomi, sosila maupun politik
menjadikan negeri ini idola bagi suku bangsa lain, djafar sadik pelambang nur
(cahaya) islam yang menjadi benteng yang kokoh limau jore-jore(ternate)
Proses akulturasi budaya ini melahirkan
tata kehidupan yang terstuktur dan sistematis dilihat dari segi tata ekonomi,
sosial, politik dan militer melahirkan suatu corak kehidupan baru dengan
imperium dibawah rerimbunan pohon pala den cengkeh.
Dikisahkan pada periode imperium ini
terjadi suatu pergolakan politik, monopoli perdagangan yang hanya berpihak pada
ketidakadilan, limau jore-jore diguncang dengan penghianatan dari dalam.
Muncullah sosok perempuan agung yang diabadikan dalam sejarah moloku kie raha
yaitu BOKI NUKILA dengan menyandag gelar NYAI
CILI BOKI RAJA. Kepemimpinan kerajaan terjate mengalami kekosongan
karena sepeninggal suami dari boki nukila yaitu Sultan Bayanullah yang
meninggal pada tahun 1522, karena puteranya yang masih kanak-kanak, kekuasaan
kerajaan pun dipegang oleh BOKI NUKILA.
Menjadi suatu tantangan tersendiri bagi
BOKI NUKILA untuk mempertahankan eksistensi dan kabasaran kerajaan ternate,
dalam diam dan tangisan jiwannya, dilema politik yang beraroma ketidakadilan,
BOKI NUKILA berdiri kokoh dengan kabasaran mengumpulkan para pembesar dan
rakyat ternate untuk menyatukan semangat dan kekuatan untuk melawan potugis.
BOKI NUKILA berpidato :
“pikirkan benar-benar, sahabatku,
betapa baiknya kesempatan sekarang ini untuk membebaskan diri dari bangsa yang
tidak berTUHAN dan tidak tahu berterima kasih dan menimbulkan kekejaman. Kalau
saya ingat kepada jasa yang diberikan kepada mereka dan ingat kepada kebaikan
yang lain yang diberikan kepada orang potugis itu sendiri, akan tetapi dibalas
dengan perlakuan yang tidak wajar, bagi saya, tidak ada jalan lain kecuali
untuk membalas mereka itu.
“pikirkan lagi bahwa mereka telah
memperlakukan dengan kejam saya dan anak saya sesudah wafatnya sultan. Betapa
mereka telah melemparkan putera sultan kedalam penjara walaupunmereka
sebelumnnya telah berjanji tidak akan berbuat demikian.
“pikirkan lagi bahwa saya telah dipaksa
untuk meninggalkan tahta dan harus lari sebagai permaisuri dari kerajaan dan
harus mengembara dari tempat satu ke tempat lain, yang semuanya itu harus
dilakukan demi kepentingan rakyat dan demi kepentingan anak-anak saya. Kemudian
setelah anak saya, sultan Doyalo, naik tahta dan mulai memerintah kerajaan
beberapa tahun lamanya. Maka ia diracun. Hal yang sama mereka selalu berusaha
lakukan terhadap sulatan Bohayat.
“maka apabila sahabat-sahabat saya masih
cinta kepada permaisurunya yang diperlakukan dengan kejam, apabila
saudara-saudara masim mempunya simpati bagi sultan saudara yang sah dan bagi
kebebsannya dan lagi apabila saudara-saudara masih cinta dan ingin memperoleh
kemakmuran dan tidak mau menunggu sampai dilemparkan sebagai budak dalam
penjara, dipelakukan dengan kejam dan tidak berperikemanusiaan oleh bangsa yang
sombong dan tak tahu berterima kasih itu,maka saya percaya bahwa kesempatan
sekarang ini saudara-saudara tidak akan mensia-siakan untuk mebinasakan mereka,
“maka, apabila dengan saya yang hanya
perempuan, ambillah keputusan yang berani untuk membinasakan mereka. Dan
setelah saudara-saudara berhasil nanti untuk merebut dan menjatuhkan benteng
portugis dan membinasakan portugis dan saudara akan dapata membebaskan sultan
yang sah dari penjara, maka bawalah ia kepadaku dan kepada rakyatnya yang sudah
dirampas sultannya dengan demikian saudara-saudara dan saya akan memberikan
kegembiraan kepada mereka.”(Valentijn, op.cit.,hal
185 dikutip dari buku “Aroma
sejarah dan budaya Ternate”)
Pidato diatas menyiratkan suatu semangat yang revolusioner dari seorang BOKI
NUKILA dengan kebijaksanaannya, kecerdasan dengan jiwa spritual yang kokoh.
Sehingga rakyat ternate pada saat itu mengistilahkan (mengelarinya) denga Nukila Foraka Rage, yang berarti “ Nukila Kita Melintas
Rintangan.
Moloku kie raha yang dengan tata ekonomi cengkeh diangkat ke taraf
politik yang diaku oleh para pakar sebagai satu-satunya organisasi kenegaraan
yang bertaraf tinggi di nusantara ini, kini tinggal dengan sepotong nama,
“Moloku” dengan pengertian etimiologisnya “Dia (she) menggenggam”,
kembali kepada arti kiasannya,”kekuasaan perempuan”. Dengan melakukan
perbandingan, bisa saja kita mengambil kesimpulan yang kritis tentang dinamika
kerajaan ternata dulu dan sekarang.
Akhirnya saya pun samp di paragraf terakhir dorang tanya ( bidari mana ??
bidadari...... hehehehehe (basedu saja ... tatawa mari !!! hohe koa adi ). Nah dari pemaparan singkat
diatas torang bisa berkesimpulan sadiki saja bahawa peran perempuan yang
direkam dalam sastra lisan dalam bentuk legenda muncul sejak dari momole,
nursyafa sampai pada boki nukila dan lainnya berupa kiasan, lambang, hidangan,
hanya akan merupakan peninggalan sejarah yang bisu, jika direka-reka arti
filosofisnya.
Karena manifestasi pesan dan makna yang terkandung didalamnya tidak sampai pada
generasi berikutnya jika kita tidak berusaha memahaminya hari ini. Selebihnya
menjadi tugas torang samua untuk memahami dan berusaha membangkitkan kembali KESADARAN FILOSOFIS dalam usaha untuk melestarikan torang
pe nilai-nilai budaya ini. Supaya torang p hidup semakin hidup, supaya tara
kaya mayat hidup (bayangkan dulu sejenak baru tatawa ... ge akan kalo dahe
nyinga ... hohe sado ..... ihhh ngeri), bajalang tara ada identitas ( suru
polisi tangkap yaaaa .... feto sado .... heheheheh !!!!)
"Jika kamu mendengar sebuah ucapan dari (mulut) seorang muslim, maka
tafsirkanlah dengan penafsiran terbaik yang ada dalam benakmu. Jika kamu tidak
dapat menemukan penafsiran (yang terbaik) untuk itu, maka
salahkanlah dirimu sendiri." ( Imam Ja'far Shadiq )
