DODOKU PHOTO

(Seni Fhotografi Anak Muda Ternate)


Oleh :
Supriyanto R senen


DODOKU Photo, merupakan salah satu wadah kreasi anak muda Ternate dalam dunia photografi yang di rilis pada akhir tahun 2015 oleh : Abdulah Adam, Hamdan H Yusuf, Rendi dan Farhan. Chemistry empat anak muda tersebut dalam dunia pemotretan tak di ragukan lagi, fhotografi bagi mereka sudah mendarah-daging, bukan lagi sekedar hobbi, akan tetapi sudah melebihi dari pada itu. Fhotografi adalah pilihan hidup kreatif yang mereka mumpuni. Mereka  begitu gamblang dan lihai dalam pengambilan gambar, serta unggul menentukan objek, melalui jemari yang lincah serta konsentrasi yang dalam, mereka melahirkan karya indah. Dan ikut bersaing dalam atmosfer fhotografi di Ternate .

           Setiap hari Dodoku Photo di sibukkan dengan badai tawaran yang terus menghujani, mulai dari priweding dan akad nikah, akikah, ulan tahun, sampai dengan pembuatan video. Bahkan grup kreatif ke empat anak muda tersebut, sempat dipercayakan dalam pembuatan video klip single terbaru oleh satuh satu grup band di kota Ternate (Avu Band). Dari pelbagai banyak kelempok photografi di Ternate, hanya Dodoku Photo yang di soroti oleh prodoser grup band (Avu Band). Dan beberapa kali menjuarai perlombaan fhotogarafi yang diadakan di Maluku Utara. Artinya Dodoku Photo mampu bersaing dengan sehat dan profesional, sehingga mereka begitu di gemari. Suatu ikthtiar yang membawa mereka dalam secoki kehidupan yang baru dalam dunia pengambilan gambar. Sehingga ikhtiar itu melahirkan takdir kesuksesan dalam karya seni fhotografi yang brilian.

            Dengan kamera, mereka berselancar dalam gelombang kreativitas seni pemotretan, dan terus mengikuti arus kehidupan krativitas mereka. Doduku Photo sangat berpengaruh di kalangan kaum muda-mudi Ternate yang hobbi dengan dunia fhotografi. Hujan tawaran membawa Doduku Photo berkeliling dari pulau satu ke pulau yang lain (Maluku Utara) dalam mengabadikan bakat dan seni. Karya Doduku Photo melahirkan hasil yang sangat seksi sehingga menghasilkan klimaks saat di pandang, pandangan kita seolah-olah di hipnotis oleh setiap karya dari Doduku Photo.

Karena dengan ketakjuban seni memotret itulah nama Dodoku Photo tak asing lagi di kalangan fhotografi di Maluku Utara. Dengan sangat profesional dalam berkarya, menjadikan seni sebagai metode hidup, sehingga membawa ke empat anak muda itu terus berkarya, dan bukan saja imajiner belaka. Tetapi menciptakan gambar yang berbicara dalam seni, penulis tak henti memberikan apresiasi sembari menejempoli karya-karya Doduku Photo. Semoga terus merawat seninya dalam dunia fhotografi.

Sebuah foto yang baik merupakan satu bentuk yang betul-betul mengekspresikan apa yang seseorang rasakan pada sanubari terdalam mengenai apa yang sedang difoto”. Dan mereka betul-betul mengekspresikan kelincahan mereka”. Fhotografi Amirika (Ansel Adam :1984)

           

EUFORIA DAN POLITIK TRANSAKSIONAL (Potret Politik Maluku Utara)

Oleh :
Supriyanto R senen
Aktivis HMI Cabang Yogyakarta Raya
“Setiap masyarakat memiliki
politik kebenarannya sendiri
yaitu semacam wacana yang diterima
dan difungsikan sebagai yang benar.”
Michel Foucault, Power of Knowledge (2002:131)

Wajah politik negeri ini masih belum beranjak dari urusan kekuasaan semata, perebutan kursi kepemimpinan dan jabatan masih menjadi hal yang diprioritaskan. Padahal kehadiran partai politik sebagai instrumen penentu dalam penyelenggaraan negara dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Namun kerapkali politik ide serta gagasan sering tersampingkan. Praktek – praktek semacam ini dapat kita jumpai di tubuh partai politik itu sendiri. Eksistensi partai politik yang diharapkan sebagai artikulasi kepentingan rakyat ternyata bermental politik transaksional.
Politik transaksional merupakan istilah yang tak asing lagi dalam dunia perpolitikan di negeri ini, baik di nasional maupun daerah. Politik transaksional tidak jauh berbeda dengan istilah money politic (politik uang), tetapi memiliki makna yang berbeda. Politik transaksional lebih identik dengan pembagian kekuasaan. Misalnya jika partai A mengusung kandidat bupati ataupun gubernur maka partai B akan mengusung wakilnya. Sehingga pada endingnya berupa pembagian kekuasaan. Namun jika pembagian kekuasaan tidak terwujud maka transaksi politik bisa tumbuh dengan cara lain semisal dengan uang. Fenomena seperti ini masih menjadi pembicaraan hangat dalam dinamika politik di bangsa ini.

POTRET POLITIK DI MALUKU UTARA
Euforia politik juga sangat terasa di Maluku Utara saat ini sebab beberapa pekan lagi kita akan mamasuki sebuah mementum pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 27 juni 2018. Hal ini dapat kita lihat pelbagai wacana politik yang ramai di media sosial yang dilakukan berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, tukang ojeq, pedagang kaki lima sampai dengan ibu-ibu pedagang sayur di pasar tradisional. Pemasangan baliho para calon kandidat kepala daerah yang terpampang rapi di setiap sudut Kabupaten/Kota di Maluku Utara dengan slogan dan visi misi sebagai upaya menarik hati rakyat. Juga terdapat stiker serta poster para kandidat, dan umbul-umbul bendera partai politik yang tak kalah menariknya dalam keikutsertaan dalam mewarnai politik di Maluku Utara. Eouforia ini sampai dengan pengantaran pendaftaran kandidat yang di usung masing – masing partai di KPUD setempat.
Akan tetapi dari euforia politik Maluku Utara itu terdapat fakta lima tahun lalu yang mencoreng panggung politik kita dengan tindakan serta praktek-praktek kecurangan seperti tipe-x kertas suara, pembakaran dan pelemparan kantor KPUD, pengelembungan suara, pamalsuan tanda tangan ketua KPUD, sampai dengan menghadirkan saksi palsu di Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut sengaja di lakukan oleh aktor dan elite politik sebagai legitimasi politik “busuk” agar mencapai tujuan dalam memenangkan pertarungan politik. Sangat disayangkan masyarakat dilibatkan dalam praktek politik semacam itu dan kebanyakan masyarakat awam yang menjadi korban didalamnya.
Padahal diharapkan partai politik serta elite politik memberikan pendidikan politik santun terhadap masyarakat agar masyarakat memahami cara berpolitik yang baik seperti apa, bukan memberikan pandangan politik identitas, politik etnis politik adu domba, serta tipuan manis melalui janji-janji politik dengan meyakinkan masyarakat. Politik sering juga memperlihatkan wajahnya ganda; wajah arif bijaksana sekaligus licik, wajah baik sekaligus busuk, wajah jujur sekaligus tipu daya, wajah humanis sekaligus antihumanis, wajah moralis sekaligus antimoralis.
Politik kerap tampil dengan wajah yang kelam, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor elit politik yang penuh dengan akal busuk, pikiran kotor, rencana jahat, skenario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat yang tak terbendung. Sehingga sangatlah penting partai politik ataupun elite politik melibatkan akademisi maupun mahasiswa yang memiliki disiplin ilmu di dibidang ilmu politik untuk menjadi mitra dalam bekerjasama dan memberikan pembelajaran ataupun pendidikan semacam nonformal terhadapat masyarakat tentang tata cara politik yang baik dan santun dalam  berdemokrasi dan bernegara.
 Plato, filsuf Yunani kuno pernah menawarkan konsep bernaegara yang lahir dari sebuah pemikiran yang menarik yakni arate, sifat manusia yang berarti menjadi baik pada sesuatu, atau sering diterjemahkan menjadi kebajikan. Untuk menemukan arate­, maka manusia dapat dikatakan terbatas dikarenakan diatur dan dicerahkan oleh pengatahuan tentang kabaikan ideal, tidak menjadi pelayan hasrat-hasratnya, serta tindakan - tindakan yang terpaksa dan tanpa pengatahuan, sehingga manusia mampu melahirkan suatu tidakan yang adil, baik itu secara berpolitik maupun bernegera (lihat, Yasraf A. Piliang. Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas).
Jika melihat suatu konsep yang ditawarkan oleh Plato di atas, maka sudah seharusnya para politikus dan pemimpin negeri ini harus memiliki sifat arate dalam menciptakan suasana politik yang baik di masyarakat dalam bentuk partisipasi politik, agar masalah-masalah seperti yang diuraikan penulis di atas dapat terhindarkan. Sehingga sistem demokrasi di bangsa ini dapat berjalan secara baik sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia. []

NB : tulisan ini pernah terbit di Malut Post pada kolom Opini pada tanggal 5 Maret 2018