Oleh :
Supriyanto R senen
Aktivis HMI Cabang Yogyakarta Raya
“Setiap masyarakat memiliki
politik kebenarannya sendiri
yaitu semacam wacana yang diterima
dan difungsikan sebagai yang
benar.”
Michel Foucault, Power
of Knowledge (2002:131)
Wajah politik
negeri ini masih belum beranjak dari urusan kekuasaan semata, perebutan kursi
kepemimpinan dan jabatan masih menjadi hal yang diprioritaskan. Padahal kehadiran
partai politik sebagai instrumen penentu dalam penyelenggaraan negara dapat melahirkan
kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Namun kerapkali politik ide serta gagasan
sering tersampingkan. Praktek – praktek semacam ini dapat kita jumpai di tubuh
partai politik itu sendiri. Eksistensi partai politik yang diharapkan sebagai
artikulasi kepentingan rakyat ternyata bermental politik transaksional.
Politik transaksional merupakan istilah yang tak asing
lagi dalam dunia perpolitikan di negeri ini, baik di nasional maupun daerah. Politik
transaksional tidak jauh berbeda dengan istilah money politic (politik
uang), tetapi memiliki makna yang berbeda. Politik transaksional lebih identik
dengan pembagian kekuasaan. Misalnya jika partai A mengusung kandidat bupati
ataupun gubernur maka partai B akan mengusung wakilnya. Sehingga pada endingnya
berupa pembagian kekuasaan. Namun jika pembagian kekuasaan tidak terwujud maka
transaksi politik bisa tumbuh dengan cara lain semisal dengan uang. Fenomena
seperti ini masih menjadi pembicaraan hangat dalam dinamika politik di bangsa
ini.
POTRET POLITIK
DI MALUKU UTARA
Euforia politik juga sangat terasa di Maluku Utara saat
ini sebab beberapa pekan lagi kita akan mamasuki sebuah mementum pesta
demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 27 juni 2018. Hal ini
dapat kita lihat pelbagai wacana politik yang ramai di media sosial yang
dilakukan berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, tukang ojeq, pedagang
kaki lima sampai dengan ibu-ibu pedagang sayur di pasar tradisional. Pemasangan
baliho para calon kandidat kepala daerah yang terpampang rapi di setiap sudut
Kabupaten/Kota di Maluku Utara dengan slogan dan visi misi sebagai upaya menarik
hati rakyat. Juga terdapat stiker serta poster para kandidat, dan umbul-umbul
bendera partai politik yang tak kalah menariknya dalam keikutsertaan dalam mewarnai
politik di Maluku Utara. Eouforia ini sampai dengan pengantaran pendaftaran
kandidat yang di usung masing – masing partai di KPUD setempat.
Akan tetapi dari euforia politik Maluku Utara itu
terdapat fakta lima tahun lalu yang mencoreng panggung politik kita dengan
tindakan serta praktek-praktek kecurangan seperti tipe-x kertas suara, pembakaran
dan pelemparan kantor KPUD, pengelembungan suara, pamalsuan tanda tangan ketua KPUD, sampai dengan
menghadirkan saksi palsu di Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut sengaja di
lakukan oleh aktor dan elite politik sebagai legitimasi politik “busuk” agar
mencapai tujuan dalam memenangkan pertarungan politik. Sangat disayangkan masyarakat
dilibatkan dalam praktek politik semacam itu dan kebanyakan masyarakat awam
yang menjadi korban didalamnya.
Padahal diharapkan partai politik serta elite politik
memberikan pendidikan politik santun terhadap masyarakat agar masyarakat
memahami cara berpolitik yang baik seperti apa, bukan memberikan pandangan
politik identitas, politik etnis politik adu domba, serta tipuan manis melalui janji-janji
politik dengan meyakinkan masyarakat. Politik sering juga memperlihatkan wajahnya
ganda; wajah arif bijaksana sekaligus licik, wajah baik sekaligus busuk, wajah
jujur sekaligus tipu daya, wajah humanis sekaligus antihumanis, wajah moralis
sekaligus antimoralis.
Politik kerap tampil dengan wajah yang kelam, ketika ia
dibangun oleh aktor-aktor elit politik yang penuh dengan akal busuk, pikiran
kotor, rencana jahat, skenario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat yang tak
terbendung. Sehingga sangatlah penting partai politik ataupun elite politik
melibatkan akademisi maupun mahasiswa yang memiliki disiplin ilmu di dibidang ilmu
politik untuk menjadi mitra dalam bekerjasama dan memberikan pembelajaran
ataupun pendidikan semacam nonformal terhadapat masyarakat tentang tata cara
politik yang baik dan santun dalam berdemokrasi
dan bernegara.
Plato, filsuf Yunani
kuno pernah menawarkan konsep bernaegara yang lahir dari sebuah pemikiran yang
menarik yakni arate, sifat manusia yang berarti menjadi baik pada sesuatu,
atau sering diterjemahkan menjadi kebajikan. Untuk menemukan arate, maka manusia dapat dikatakan
terbatas dikarenakan diatur dan dicerahkan oleh pengatahuan tentang kabaikan
ideal, tidak menjadi pelayan hasrat-hasratnya, serta tindakan - tindakan yang
terpaksa dan tanpa pengatahuan, sehingga manusia mampu melahirkan suatu tidakan
yang adil, baik itu secara berpolitik maupun bernegera (lihat, Yasraf A. Piliang. Transpolitika:
Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas).
Jika melihat suatu konsep yang ditawarkan oleh Plato di atas,
maka sudah seharusnya para politikus dan pemimpin negeri ini harus memiliki
sifat arate dalam menciptakan suasana
politik yang baik di masyarakat dalam bentuk partisipasi politik, agar masalah-masalah
seperti yang diuraikan penulis di atas dapat terhindarkan. Sehingga sistem
demokrasi di bangsa ini dapat berjalan secara baik sesuai dengan kondisi dan
budaya Indonesia. []
NB : tulisan ini pernah terbit di Malut Post pada kolom Opini pada tanggal 5 Maret 2018
NB : tulisan ini pernah terbit di Malut Post pada kolom Opini pada tanggal 5 Maret 2018
