KOTA TERNATE = KOTA AMNESIA

Oleh: Supriyanto R Senen

 (Aktivis HMI Cabang Yogyakarta Raya)
PENULIS sengaja membuka tulisan ini dengan mengutip ungkapan dari The founding father sang prolakmator Indonesia Soekarno. Jangan sekali – sekali melupakan sejarah, itulah salah satu pesan yang di sampaikan pada saat pidatonya di depan MPRS (majelis permusyawaratan rakyat sementara), Yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah. Dari kutipan tersebut maka penulis mencoba mengutip satu ungkapan “Daerah yang besar ialah daerah yang menghargai sejarah dan budayanya”. Setiap daerah memiliki sejarah perjuangannya masing- masing, serta budaya yang berbeda – beda. Nah oleh karenanya jangan sampai  kemudian Derah tersebut dengan semenah – semenah melupakan sejarah dan budayanya begitu saja, sebab sejarah ialah sebuah bentuk Nostalgia pada masa lampau entah yang baik atau yang berbuah pahit. Tetapi itu merupakan asensi awal yang kemudian memiliki nilai atau krateristik secara filosofis dari  daerah tersebut.
Kota Ternate sebuah Kota di timur Indonesia, Propinsi Maluku Utara. Yang memiliki luas wilayah daratan 249,75 km2. Merupakan Kota otonom yang di bentuk oleh undang – undang nomor 11 tahun 1999.  Ternate juga memiliki masa keyajaan di abad ke 15 saat menaklukkan bangsa Portogis kala di itu di benteng Sao Paolo ( Benteng kastela), oleh Sultan Babbullah, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1575, sehingga Portugis pun menyerah tanpa syarat (di lihat Abul Hamid, 1998, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate). Sehingga tanggal 28 Desember di jadikan sebagai hari jadi Kota Ternate oleh pemerintah daerah. Oleh karenanya sprit juang Sultan Babbullah yang menjadi sangat spektakulur itu, Pemerintah Daerah lewat Kementrian Perhubungan kemudian mengabadikan nama Babbulah di bandar udara Ternate (Bandara Sultan Babbulah). Ternate juga memiliki nilai kebudayaan yang bisa di bilang cukup kental lewat Kesultanan Ternate sebagai intrumen kebudayaan, serta bisa di lihat dari berbagai aftefak kebuadayaan lainnya yang ada di kota Ternate. Catatan sejarah dan nilai kebudayaan tersebut kemudian termanefestasi dalam diri masyarakat sehingga dijadikan sebagai sebuah identitas pada masyarakat tempatan.
Namun sembarinya waktu berjalan pola kehidupan sosial masyarakat berbalik arah. Dampak tersebut bisa di lihat dari pembangunan moderenisasi yang  di lakukan oleh pemerintah daerah kota Ternate, Pemerintah daerah Kota Ternate seakan-akan mengidap penyakit amnesia yang cukup kronis tentang akan sejarah dan budaya dari masyarakat tempatan. Kenapa demikian, ini dikarenakan pembangunan infrastruktur dilakukan secara tidak merata tampa melihat asensi awal dari kota tersebut. Pembangunan moderenisasi akan berdampak pada kesenjangan baik ekonomi, sosial dan budaya dari masyarakat tempatan. kesenjangan dapat dikatakan sebagai ketidaksesuaian antara harapan-harapan yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi.
Kesenjangan sosial ekonomi merupakan suatu kondisi sosial dalam kehidupan masyarakat yang tidak seimbang akibat adanya berbagai perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi, terutama dalam hal keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kesenjangan sosial ekonomi dapat terjadi karena pembangunan dan modernisasi tidak dilaksanakan secara merata dan berimbang. Ketidakmerataan dan ketidakseimbangan sangat membahayakan kehidupan sosial karena dapat memicu terjadinya kecemburuan sosial yang mempengaruhi goyahnya stabilitas daerah  tersebut. Disamping itu, kesenjangan sosial dan ekonomi akan terjadi mana kala hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan bangunanan modernisasi hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat saja. Akibatnya, di satu pihak berkembang golongan masyarakat kaya dan serba mewah, di sisi yang lain berkembang golongan masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Terjadinya kesenjangan dapat diawali dengan tidak meratanya kesempatan yang dimiliki oleh anggota-anggota masyarakat dalam mendapatkan pekerjaan, berusaha, memenuhi kebutuhan pokok, maupun kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kesempatan untuk mendapatkan lapangan kerja dan kesempatan untuk berusaha hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat yang memiliki modal dan memiliki kedekatankedekatan tertentu dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Akibatnya, sebagian kecil masyarakat dapat menambah kekayaan, sedangkan yang lainnya masih bergelut dengan kemiskinan.
Tentu saja hal ini kemudian sangat mempengaruhi dan menjadi satu masalah baru serta berdampak buruk pada nilai-nilai baik dari segi sejarah maupun kebudayaan secara tradisional. Penggusuran pasar gamalama misalnya, pasar gamalama yang merupakan pasar tradisional dan menjadi pusat paradaban Kota di era tahu 70-an, di gusur dan akan di bangun bangunan moderen plaza oleh pemerintah daerah, padahal bangunan tersebut sudah masuk dalam bangunan cagar budaya serta menjadi cacatan sejarah di masa itu.
Oleh sebabnya patut kita pertahankan dan merawatnya, tetapi kenapa kemudian pemeritah daerah mengambil langkah tanpa mempertimbangkan hal tersebut. Ini juga sangat mempangaruhi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat,  dikarenakan pasar gamalama merupakan tampat bergantung hidup serta tempat mata pencarian dari pada masyarakat tersebut. Dengan sengja pemerintah daerah telah mematikan mata pencarian dari masyarakat tersebut. Karena pemerintah dalam hal ini lebih memihak pada pemodal dari pada masyarakat tempatan, sampai berapa lama harus bangun perselingkuhan dengan pemodal untuk meraih satu keuntungan besar. Adapun situs sejarah dan artefak kebudayaan lainnya Dodoku Ali misalnya tempat yang merupakan armada pelabuhan berlabuhnya kora-kora para Sultan di jaman keemasaannya untuk melakukan ekxpansi, kini tinggal nama dan tertimbun dengan timbunan moderenisasi Hyper Mart, padahal tempat tersebut merupakan situs bersejarah dan di lindungi Undang – Undang Cagar Budaya no 11 tahun 2010, artinya secara tidak langsung pemerintah daerah telah melanggar Undang Undang tersebut.
Seharusnya bangunan – bangunan yang bersifat artefak kebudayaan  yang di revitalisasi bukan hanya bangunan kolonial dan portugis (benteng) yang di lihat, pada hal bangunan kolonial dan portugis merupakan bangunan para penjajah negeri ini, apakah kita harus bangga dengan bangunan para kolonial dan portugis melainkan bangunan yang bersifat budaya dari kita sendiri?. Kalau kita menelah lebih jauh pembangunan Hyper Mart berada di utara dari pasar tradisional dan di selatan pasar tradiosal juga terbangun Mall Jati Land, secara otomastis pemutaran ekonomipun terhambat di lingkungan pasar tradisional tersebut dengan sendirinya melaharikan pertarungan ideologi tradisional dan ideologi moderenisasi.
Pembangunan fisik di kota Ternate seperti manusia yang mengidap penyakit kangker stadium empat, kenapa demikian ini dikarenakan pembangunan hanya terfokus di wilayah kecamatan Ternate Tengah, dan anehnya di tengah-tenganya di bangun RTH (ruang terbuka hijau), yang harus di pertanyakan relevansi dari pembangunan RTH tersebut di mana padahal kita ketahui itu berada di pusat kota yang merupak pusat aktivitas dari masyarakat, apakah RTH tersebut mampu menetralisirkan oksigen di tengah – tengah pembuangan gas emisi kendraan dari masyrakat. Lebih ngerinya lagi anggaran pembangunan Mesjid Sultan (Sigi Lamo) pun di pangkas  oleh TAPD  (tim anggaran pemerintah daerah), padahal mesjid tersebut merupakan asensi awal dari pada paradaban Islam di Kota Ternate, tetapi masih saja anggaran pembangunan di siluman oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, lantas kita hanya diam dan melihat keserakahan seperti ini, lalu di mana peran dari pimpinan pemerintah daerah untuk menyikapi persoalan seperti ini, apakah ini merupakan program dari pada pemirintah daerah?.
Bahkan penulis agak sedikit merasa rancu dengan lambang pemerintah kota Ternate yang memakai lambang ikan pari, di mana nilai filosofis dari pada ikan pari, apakah lambang tersebut menunjukan krateristik dari orang Ternate?. Padahal masih ada simbol lain yang menjadi representatif serta menunjukan krakteristik sebagai identitas kita dan nilai secara filosofis. Guraci No Ige Ua Kara Banga No Bonofo (Emas tidak kau hiraukan sedangkan tembaga kau banggakan)Semoga kita bukan bagian dari KARA BANGA, yang di maksud dalam syair Dolobololo (satra lisan orang Ternate) tersbut. Sukur dofu – dofu. Suba Jou.

(Tulisan ini sudah pernah di publikasikan oleh Malut Post edisi 1 Maret 2017)

Legu Gam Moluku Kie Raha (Bukan Sekedar Pasar Malam)

Oleh : Supriyanto R Senen
Pegiat Yayasan Buku Bendera
LEGU GAM, secara terminologi, Legu dalam bahasa Ternate berarti pesta dan Gam berarti kampung, maka pengartian secara luas Legu Gam ialah pesta rakyat. Legu gam merupakan sebuah festival kebudayaan yang tersohor di Maluku Utara, festival ini telah mulai sejak dari tahun 2002 dan menjadi festival kebudayaan tertua di Maluku Utara, Legu Gam di prakarsai oleh Sultan ke-48 Alm Al Haji Mudaffar Sjah BcHk, pelaksanaannya bertepatan dengan hari kelahiran beliau pada tanggal 13 April. Selain memperingati hari lahirnya Sultan Ternate, Legu Gam juga sebagai wujud pelestarian kebudayaan dan menggambarkan hubungan emosional yang baik antara Sultan dan rakyatnya. Seiring berjalannya waktu, Legu Gam menjadi sarana ekonomi bagi masyarakat pelaku ekonomi, masyarakat sangat antusias dengan legu Gam serta terlibat dalam pelbagai kesiapan hal teknis dari kepanitiaan festival legu gam tersebut.

       Selain perayaan hari lahir Sultan Ternate, Legu Gam juga sebagai media pengenalan kebudayaan, namun pada tahun 2010 Legu Gam kehilangan spirit secara kebudayaan, sehingga Legu Gam hanya di padang sekedar pasar malam dan pameran kota belaka, Legu Gam yang seharusnya memiliki spirit kebudayaan, akan tetapi spirit tersebut hanyalah narasi belaka, sehingga yang terlihat dari Legu Gam tak jauh berbeda dengan hiburan malam sehingga masyarakat hanya terpusat pada hiburan, permainan dan jualan yang ada di sekitar lokasi. Ironisnya lagi bahkan pangggung Legu Gam di jadikan panggung politik sebagai legitimasi dalam mencapai tujuan secara priadi, dengan alih-alih, siapa yang menjadi ketua Legu Gam dia yang akan menjadi wakil wali kota. Sehingga muatan politis sangat kental dalam lokus Legu Gam, fenomena politik dengan bungkusan Legu Gam terlihat sampai pada Legu Gam di tahun 2015.
     
Struktural Fungsional
       Festival Legu Gam sudah menjadi kebudayaan Kesultanan Ternate untuk rakyat Moloku Kie Raha. Festival Legu Gam juga merupakan sebuah tongkat pangkal unsur dalam kebudayaan dan dari tongkat pangkal unsur tersebut memiliki beberapa sub sistem didalamnya. Sub sistem tersebut terdiri dari  agama, kesenian, pendidikan, ekonomi kreatif dan pemerintah. Dari sub sistem tersebut juga ada sub-sub sistem didalamnya yaitu terjadinya komunikasi, interaksi antar individu-individu. Seperti pendapat Koentjaraningrat “budaya itu tumbuh dari hasil interaksi individu terhadap individu yang lain. Yang kemudian kebudayaan itu terjadi dan tumbuh di dalam sistem kehidupan karena di dalam interaksi tersebut terdapat status dan memiliki peran yang memiliki struktur di dalamnya atau biasa disebut struktur sosial” (Hanselin: 2006).
       Festival Legu Gam menjadi fungsional dan memiliki banyak fungsi dan sesuai dengan teori Merthon (Fungsionalis strukturalis) berkaitan dengan situasi politik, ekonomi dan budaya dimana konteks teori sosial itu berada ditengah masyarakat. Merton berargumen bahwa fokus dari fungsionalis struktural harus diarahkan pada fungsi-fungsi sosial, yang menurut Merton, fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang disadari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuaian sistem sosial (1949/1968: 105)”. Akan tetapi terdapat bias ideologi jika orang hanya memusatkan perhatiannya pada adaptasi atau penyesuaian, karena adanya konsekuensi positif, dan perlu kita ketahui bahwa fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta sosial lain dikarenakan festival Legu Gam adalah kegiatan terpola dan terulang di setiap tahun juga memusatkan perhatian ke kelompok masyarakat dan sesuai kultur yaitu nilai Islami.Festival Legu Gam merupakan Festival Sruktural Fungsional dengan memiliki beberapa fungsi yang telah terstruktur. Pemanfaatan Festival Legu Gam dapat diperoleh masyarakat dengan adanya fungsi, diantaranya : Festival Legu Gam memiliki fungsi dalam Religius, Kesenian, Pendidikan, dalam Ekonomi Kreatif, dan festival Legu Gam memiliki fungsi PAD, karena kesultanan merupakan mitra pemerintah daerah.
Bukan Sekadar Pasar Malam
       Pada tahun 2018, Legu Gam yang di ketuai oleh Jou Ngofa (Anak Sultan) Firman Mudaffar Sjah SE, sukses serta berhasil menepis stigma buruk dari Legu Gam Moloku Kie Raha, bahkan Legu Gam yang di adakan tahun 2018 tanpa ada bantuan baik pemerintah daerah maupun pusat. Padahal pemerintah daerah merupakan mitra dari Legu Gam Moloku Kie Raha. Walaupun tanpa bantuan dari pemerintah daerah, Legu Gam yang di nahkodai oleh Jou Ngofa Firman Sjah SE berjalan sesuai terget. Dan yang harus diapresiasi ialah kepanitiaan legu Gam 2018 mampu mengaktifkan kembali esensi serta subtansi dari nilai-nilai adat se atoran dan mampu menarik tamu luar yang ikutsertakan dalam memeriahkan festival legu gam dari Raja-Raja se Nusantara sampai tamu manca negara juga kerabat Kesultanan Ternate dari Negara Belanda. Fungsi Legu Gam sebagai festival kebudayaan Moloku Kie Raha yang sudah di jelaskan oleh penulis di atas baik itu fungsi sebagai Religius, kesenian, pendidikan, ekonomi kreatif, mampu dicapai oleh Legu Gam 2018, sehingga mendapat dudukan serta antusias masyarakat adat Kesultanan Ternate. Sehingga stigma buruk terkait dengan legu gam yang tak jauh berbeda dengan pasar malam dan dijadikan sebagai perebutan panggung secara politik dapat di bendung oleh panitia Legu Gam 2018 yang berlokasi di sunyie lamo. 

       Panitia pada tahun 2018 memiliki tantangan sangat besar. Fenomena ganda yang tak biasanya terlihat pada Legu Gam di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2018 fenomena ganda Legu Gam menuai pertanyaan besar bagi masyarakat, Legu Gam versi Abdullah Tahir (Wakil Wali Kota Ternate) yang diadakan di Benteng Oranje dan Legu Gam yang berlokasi di sunyie lamo (lapangan salero). Seharusnya Abdullah Tahir selaku pemerintah menjadi mitra Legu Gam bukan melaksanakan Legu Gam tandingan. Dengan adanya dualisme Legu Gam ini kemudian menarik perhatian khusus dari Kementerian Pariwisata Bidang Ekonomi Kreatif, sehingga Legu Gam yang sebelumnya merupakan event nasional yang sudah terjadwal dalam kalender nasional Kemenpar dicabut dari kalender nasional. Namun yang diketahui masyarakat Legu Gam saat pertama di adakan sampai saat ini yaitu Legu Gam yang berlokasi di lapangan sunyie lamo (lapangan salero), bukan yang berlokasi di Benteng Oranje atau tempat lainnya.

       Tahun 2019, Legu Gam di rencanakan akan diadakan pada bulan Maret. Kali ini Legu Gam akan diketuai Jou Ngofa Hidayat Mudaffar Sjah, yang juga merupakan saudara dari ketua umum Legu Gam 2018 Jou Ngofa Firman Mudaffar Sjah. Inisiatif pergantian Ketua Umum merupakan kesepakatan dari kakak beradik, Firman Mudaffar Sjah dan Hidayat Mudaffar Sjah serta disaksikan oleh perangkat adat Kesultanan Ternate di pendopo Kesultanan Ternate. Pergantian ketua umum agar Legu Gam bisa terhindar dari tuhduhan politis dari masyarakat. Legu Gam 2019 yang diketuai oleh Hidayat Mudaffar Sjah dengan tema “Ternate Mercusuar Indonesia, Indonesia Mercusuar Dunia” diharapkan mampu menghadirkan ide serta gagasan yang membangun Ternate dan Maluku Utara, baik dari sektor Kebudayaan, pariwisata, serta ekonomi yang lebih baik kedepannya. Dan Legu Gam 2019 kembali masuk dalam event kalender nasional. Haparan penulis, Legu Gam juga bisa menjadi laboratorium kebudayaan “adat se atoran” bagi generasi melenial saat ini, sehingga nilainya dapat terejawantahkan dalam aktivitas kehidupan baik secara sosial maupun individual. Semoga Legu Gam Moloku Kie Raha 2019, berlangsung dengan sukses dan memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat Ternate dan Maluku Utara. Sukur dofu-dofu. Suba Jou.(*)
NB: tulisan ini pernah tebit di Malut Post edisi 26 februari 2019