Oleh:
Supriyanto
R Senen
Aktivis HMI Cabang Yogyakarta Raya
“woka-woka
ma pila poga
No
waje jang si no piara
Maluri
dengo campaka
No
waje ira si no sihata”
(Doro
Bololo)
PEMILIHAN calon legislatif tak lama lagi akan mengguncang
panggung pesta demokrasi Maluku Utara. Persiapan kandidat sudah mulai terlihat
dari pemasangan baliho yang terpapar di papan iklan setiap sudut Kota dan
Kabupaten di Maluku Utara. Persiapan visi dan misi menjadi nyanyian khas bagi
kandidat untuk menarik perhatian masyarakat sebagai bentuk kekuatan dalam
berpolitik.
Demokrasi
adalah hak dimana rakyat bisa berpartisipasi dalam menentukan kebijakan.
Penentuan kebijakan ini berupa perwakilan rakyat dalam legislatif dan bagi
rakyat yang lain berpartisipasi untuk memilih wakil rakyat mereka. kebijakan
umum ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi “kebebasan”
politik. Sehingga demokrasi dengan demikian, menurut Abraham Lincon “dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Definisi Lincon ini sangatlah mendasar,
walau dalam perkembangan demokrasi harus dipahami dalam konteks wilayah dan
negara dimana rakyat itu berada.
Maluku
utara pada umumnya dan secara khusus Ternate, ketika pemilihan calon
legislatif, beberapa kandidat sangat memanfaatkan kesultanan Ternate sebagai background
untuk sarana menuju kekuasaan politik. Di mana kesultanan Ternate sendiri yang
kita kenal sebagai lembaga adat atau ikon kebudayaan tidak lagi berjalan
sesuai dengan fungsinya.
Idin
(fatwa) sebuah keputusan Sultan
sangat disakralkan, bagi sebagian rakyat Maluku utara yang bersifat mengarahkan
rakyat ketika Sultan ingin memerlukan bala atau rakyat guna membahas
kepentingan di dalam kadaton. Namun dalam beberapa tahun kemarin Idin (fatwa)
kehilangan kesakralannya, Idin sendiri di pakai dan dimanfaatkan oleh
beberapa kandidat dan dijadikan sebagai senjata utama dan legitimasi
kekuatan dalam berpolitik. Sebuah keputusan dan harus di ikuti oleh bala atau
rakyat untuk memilih kandidat yang sudah tercantum dalam Idin, “Ada
Caleg ada Idin”. Sedangkan dalam Idin itu sendiri
dapat di tinjau kembali bila di anggap kurang efektif oleh Dewan delapan belas
Kesultanan atau bobato nyagimoi se tufkange, sebagai lembaga penetapan
hukum-hukum adat.
Kalimat
yang tak asing dan sering di pakai “Jou kasa, ngom ka ge” (Sultan di
mana, kami di situ), adalah kalimat yang seharusnya dipahami sebagai bentuk
kepatuhan bala (rakyat) terhadap pemimpinnya (Sultan). Namun makna kalimat itu
sudah bergeser dari makna kebudayaan menjadi makna politik, ketika kalimat itu
di taruh pada background baliho para caleg yang telah mendapatkan restu
dari Sultan. Di sini otomatis, secara politik bala (rakyat) yang setia kepada
sultan diarahkan untuk memilih caleg tersebut. Nah, apakah ini yang di namakan
dengan demokrasi? Ketika hak rakyat telah diambil alih oleh Kesultanan
itu sendiri. []
