Oleh
:
Supriyanto
R Senen
Mahasiswa
ITY (Institut Teknologi Yogyakarta)
“
Sagadi no lau bole
Afa no palisi gare
Temo giki helo giki
Ua ma boloi ngone
Demo takabur afa
Dunia i gila moju “
sastra lisan Ternate
( Dalil Tifa )
KADATONG kesultanan Ternate, adalah salah satu kesultanan dari empat
kesultanan yang berada di Moloku Kie Raha (Maluku Utara) yakni Ternate, Tidore,
Bacan, dan Jailolo. Kesultanan Ternate sendiri berada di pusat keramaian di
sebelah utara kota Ternate. Eksistensi kesultanan sendiri adalah sebagai icon
dan instrumen kebudayaan yang menjadi wujud artefak sehingga
memiliki ciri khas tersendiri dari empat kesultanan yang berda di Moloku Kie
raha. Kesultanan Ternate yang berada di bawah naungan dan kepemimpinan
Kolano (Sultan) sebagai figur utama yang memperjuangkan kemaslahatan rakyat
itu sendiri.
Namun pada beberapa tahun kemarin sistem dalam
lembaga adat Kesultanan itu sendiri telah bergeser jauh dari nilai-nilai adat
dan budaya yang telah di terapkan oleh para pendahulu semenjak kesultanan itu
berdiri. Ketika kedatangan sesosok perempuan yang masyarakat kenal sebagai
permaisuri sultan pada awal tahun 2000. Nah di sini penulis akan mengungkapkan
beberapa fakta yang penulis rasa telah keluar jauh dari nilai - nilai adat dan
budaya yang telah terapkan. Pada tahun 2009 memasuki bulan Ramadhan ketika
ritual relegius secara adat dari Kesultanan Ternate yang sering kita kenal
dengan Jo’Ou Kolano uci sabea ( Sultan turun sembahyang ). Ketika Jo’Ou Kolano
( sebutan Sultan dalam bahasa Ternate) di tanduk dari kadatong Kesultanan
Ternate menuju Sigi lamo kesultanan Ternate (Mesjid besar kesultanan), ini
adalah sebuah bentuk kepatuhan dan kecintaan rakyat (bala) terhadap pemimpinnya
(Sultan), yang sudah dilakukan semanjak 1257 sampai sekarang. Yang membuat
pergeseran nilai adat dan budaya ialah ketika permaisuri Nita Budi
Susanti ditanduk dalam ritual adat Jo’Ou Kolano uci sabea yang
sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai adat se atoran. Disini yang
ditanduk hanyalah Kolano bukan sosok permaisuri yang dalam hal ini membuat
sistim kekuasaannya yang melanggar atau melenceng dari nilai-nilai adat dan
budaya kesultanan Ternate.
Pada pertengahan tahun 2013 sekitar
tanggal 26, september 2013 Kesultanan Ternate melakukan penobatan kepada putra
kembar yang lahir secara gaib dari permaisuri Nita Budi Susanti yang lahir pada
tanggal 28 Juli 2013 di Semarang. Upacara penobatan dua pewaris tahta
kesultanan dilangsungkan di pendopo keraton Kesultanan Ternate dalam sebuah
proses adat kesultanan. Penobatan dilakukan Sultan Ternate Mudafar Syah
terhadap dua bayi kembar dari hasil pernikahannya dengan permaisuri Nita
Budi Susanti. Warga dan keluarga kesultanan ikut menyaksikan proses penobatan.
Kedua pewaris tahta adalah Ali Muhammad Tajul Mulk Putera Mudafar Syah
dinobatkan sebagai Sultan Ternate ke-49 menggantikan ayahnya Sultan Ternate
saat ini yakni Mudafar Syah. Sultan baru mendapat gelar Kolano Maduru.Sedangkan
adik kembarnya bernama Gajah Mada Satria Nagara Putra Mudafar dinobatkan sebagai
Sultan Muda. Penobatan sengaja dilakukan Sultan Mudafar Syah lebih cepat untuk
menghindari perang saudara di kemudian hari. Penobatan sendiri melalui tiga
tahap.
Namun penobatan ini mendapat penolakan dari
keluarga dan anak kandung sultan karena dinilai melanggar adat istiadat dan
tata cara pengangkatan sultan di Kesultanan Ternate. Selama ini, menurut
mereka, tidak pernah mengenal yang namanya putra mahkota. Pengangkatan tahta
Kolano seharusnya berjalan sesuai dengan penerapan dan di tetpkan oleh lembga-lembaga
Kesultanan Ternate yakni Gam raha bertindak sebagai empat kekuatan Bangsa
sebagai dewan tetinggi yang memilih dan menggangkat Kolano, sedangkan Bobato
Delapan Belas ( boboto nyagimoi se tufkange ) sebagai lembaga penetapan
hukum-hukum adat yang berhak mengajukan kandidat Kolano. Bahkan, keluarga
sultan sendiri tidak percaya bila dua bayi kembar itu merupakan buah pernikahan
sultan dengan permaisuri, sehingga mereka memilih menempuh jalur hukum guna
mencari titik kejelasan dari permasalahan tersebut. Pihak keluarga
kesultanan yang menolak menuding kehadiran dua bayi kembar dan penobatan yang
tergesa-gesa hanya merupakan rekayasa sang permaisuri.
Belum lagi sebuah keputusan Jaib Kolano. Jaib
Kolano ialah sebuah keputusan mutlak dan tak dapat di ganggu gugat oleh siapa
pun. Sedangkan isi dari Jaib Kolano tersebut ialah ketika Jo’Ou Kolano manggat
atau berhalangan ( sakit ) maka yang berhak menggantikan jabatan dan berhak
mengembalikan fungsi kekuasaan dalam Kesultanan Ternate sebelum kedua anak kembar
beranjak dewasa ialah permaisuri Nita Budi Susanti. Nah disini jelas melanggar
konstitusi dan melenceng jauh dari nilia-nilai adat kesultanan yang diterapkan
dari para leluhur kesultanan di Jazirah Al-mulkia. Bahwa yang dapat mengisi
kekosongan kesultanan ketika sultan manggat atau berhalangan (sakit) adalah
Jogugu kesultanan kesultanan, dan boboto delapan delapan belas (boboto nyagimoi
se tufkage). []
