TERNATE : ARUS KEBUDAYAAN DI JURANG MODERENISASI


Oleh :
Supriyanto R senen
Aktivis HMI Cabang Yogyakarta Raya

“manuru to gugu-gugu
I hira seri momina
I doro seri bobaso
Doka dahe pasa marua”
Artinya :
“Melati yang ku pegang
Hilang dari penglihatan
Ia jatuh dalam perasaan ku
Seperti tanjung ditinggalkan suda”
Sastra lisan orang Ternate
   ( cum – cum )

            KEBUDAYAAN merupakan hasil kreasi manusia (dilihat, kountowijoyo, budaya dan masyarakat). Kebudayaan adalah sebuah kebiasaan yang sudah terpola terus menurus sehingga menjadi prinsip hidup dalam masyarakat. Dari pola prinsip hidup bermasyarakt itulah melahirkan prinsip- prisip nilai yang disepakati maupun diyakini kebenarannya dalam mengatur kehidupan masyarakat. Ada nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kebudayaan merupakan sesuatu yang khas insani. Lewat kebudayaan manusia mengubah alam lebih manusiawi artimya memanusiakan alam. Sekaligus dalam kebudayaan itu manusia mewujudkan diri sehingga mencapai kepunuhan kemanusiaannya. Dengan kata lain kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban, dan pengelolaan nilai-nilai insani. Adapun wujud dalam kebudayaan mennurut J.J hoenigman wujud kebudayaan meliputi : ide (pemikiran), aktivitas (kebiasaan), dan artefak (tarian, benteng, peninggalan sejarah dll).

 Ternate juga lahir dari sebuah kebudayaan tradisional yang sangat kental dimasyarakat Ternate. Kebudayaan tersebut lahir dari sebuah falsafah Jou se ngofa ngare (filsafat orang Ternate), dari falasafah tersebut kemudian melahirkan sebuah konsep ketuhanan orang Ternate yaitu Suba Juo (sembah Tuhan) dimana alam semesta dijadikan sebagai media atau sumber pengatahuan mereka melalui hasil dari kontemplasi (perenungan) dan ide (pemikiran) manusia dan melahirkan satu asumsi serta gagasan kemudian dituangkan dalam satu kelompok sehingga menjadi kebiasaan yang sudah terpola terus-menerus didalam prinsip hidup bermasyarakat. Dikebudayaan ternate juga ada prinsip-prinsip nilai yang telah disepakati kebenarannya karena kebudayaan adalah pedoman sebelum diturunkan agama dengan kitab-kitabnya. Bagi orang Ternate kebudayaan atau adat sudah sesuai dengan agama atau berperan sebagai agama. Namun kenyataan, Tuhan merunkan agama setelah terlebih dahulu menurunkan nabi-nabinya untuk mengajarkan manusia tentang tuhan. Tentu dengan diturunkan agama kesuaian kebudayaan sendiri harus sesuai dengan dengan agama. Kesuaian tersebut dapat kita lihat dalam kalimat “Adat matoto Agama, madasar Kitabbullah se Hadis, Kitabullah matoto Jou Allah Ta’Ala” ( adat bedasarkan agama, agama berdasarkan Al-Quran dan hadis, dan berdasarkan Allah SWT). Nah ada pula prinsip nilai kemanusian orang ternate yang dirangkumkan dalam 10 (sepuluh) nilai implementasi kemanusian Ternate. Nilai kemanusian yang dimaksud adalah Adat se Atoran (kebiasan dan hukum), Istiadat se Kabasaran (kebiasaan dalam menjalankan aktivitas religi), Galib se Lakudi ( ketapan dan ketentuan ), Sere se Duniru (tata cara dan aturan hukum), Cing se Cingare (pengawasan dan diawasi), Baso se Rasai ( rasa dan merasakan), Cara se Ngale ( jalan Tuhan yang harus ditempuh), Loa se Banar (jalan yang lurus dan benar), Duka se cinta (kesedihan dan cinta), Baso se Hormat (rasa dan menghormati)”. Itulah 10 (sepuluh) nilai kemanusian yang harus dijalankan bersama sifat-sifat Tuhan artinya diantara manusia dan Tuhan adalah dua hal yang saling berkaitan dan membutuhkan satu sama yang lain sebagaimana dalam pandangan manusia oleh seorang filosof Islam (Ibnu Arabi) manusia adalah cerminannya Tuhan.

      Adapun wujud kebudayaan yang dapat kita lihat diTernate semisalnya kebiasaan orang Ternate dalam menjalankan aktivitas kebudayaannya secara ritual  dalam bentuk religious dalam hal ini ialah Kololi Kie mote ngolo (keliling gunung mengikuti laut) dengan menggukan perahu dan dihiasi oleh daun kelapa muda, Fere Kie (naik gunung), jiarah ke tempat-tempat yang dianggap kramat, semata-mata untuk meminta pelindungan terhadap Tuhan dalam hal keselamatan negeri. Ada juga aktivitas dalam bentuk social masyarakat misalnya Bari (kerja bersama) membersihkan kampong atau saling membantu mendirikan fondasi rumah kerabat ataupun teman, Lilian ( saling membantu dalam bentuk hajatan keluarga kerabat maupun teman). Ada pula wujud kebudayaan dalam bentuk artefak misalnya  tarian-tarian kebudayaan (cakalele, soya-soya, salai jin, lalayon, gala, togal,dll), Sastra lisan yang dalam isinya mengandung pesan-pesan leluhur (dolo bololo, dalil moro, dalil tifa, cum-cum, pantun, tamsil, dll) dan diantara salah satunya yang penulis coba kutip diawal tulisan, Kadatong Kesultanan ternate, benteng peninggalan portogis maupun colonial. Dan masih banyak lagi yang penulis blum mampu memaparkan satu persatu.

     Namum setelah semilir waktu berputar dan mengikuti poros arus globalisasi yang begitu kencang ketika kita memasuki peradaban melenium diAbad-21 (dua puluh satu)  atau yang kita kenal dengan zaman moderennisasi. Di zaman modrenisasi ini manusia seakan-akan memasuki dunia barunya dengan diperlihatkan perkembangan teknologi, pembangunan bangunan moderen yang begitu megah dan cepat. Menurut seorang filsuf Islam (Dr. Ali Syari’arti) moderenisasi ialah sebuah malapetaka besar bagi manusia. Pola hidup masyarakatpun berlahan-lahan mulai berubah dengan begitu cepat kita menerima arus moderenisasi tersebut. Semuapun ikut terbuai dari mulai gaya fashion, sampai paparan bahasa. Modernisasi merupakan suatu proses transformasi dari suatu perubahan kearah yang lebih maju atau meningkat di berbagaiaspek dalam kehidupan masyarakat. Moderenisasipun sangat berdampak buruk terhadap kebudayaan Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock); guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan. Contoh: di era globalisasi ini unsur-unsur budaya asing seperti pola pergaulan hedonis.

            DiTernate pun demikian arus moderenisasi cukup kencang dan sebagian besar masyaratkan pun menerima dan mulai terbuai arus. Kehidupan masayakat mulai berubah, budaya barat semakin mendominan, pembangunan bangunan modern sangat cepat. Sengaja atau dengan tidak sengajanya, sadar atau dengan tidak sadar kebudayaan tradisoanal serta nilai-nilainya leluhur yang sudah menjadi warisan serta amanah berlahan-lahan mulai punah, sehingga arus kebudayaanpun berada dalam jurang moderenisasi. Anak-anak kecil diajari menari dance dan tidak lagi mengenal tarian-tarian tradional , para wanita mulai barpakaian yang mulai tidak beretika padahal sebelum mereka memulainya berpenapilan seperti itu orang-orang Togutil diseputaran pedalam Halmahera sudah memulai terlebih dahulu tetapi sekarang mereka telah sadar dan mulai berpakaian selayaknya manusia. Bahkan sebagian besar generasi muda menganggap bahwa budaya leluhur adalah hal yang kuno dan kampungan, ada yang malu memakai bahasa Ternate yang sebenarnya menjadi identitas takut dianggap tidak keren. Legu Gam yang seharussnya menjadi ajang pagelaran kebudayaan tetapi realitanya banyak unsur-unsur moderenisasi yang mereka selipkan disitu. Dodoku Ali sebagai wujud artefak kebudayaan kini telah terkubur oleh bangunanan moderenisasi (haypert mart). Kita seakan-akan lupa dari manakah kita sebanarnnya.

            Jika kebudayaan merupakan warisan serta amanah leluhur  maka kita jangan me

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »